Zirah

Zirah (bahasa Inggris: Body armor) adalah pakaian atau lapisan pelindung yang dikenakan untuk melindungi tubuh maupun kendaraan dari senjata atau benda yang dapat memberi luka fisik. Istilah zirah identik dengan pakaian perlindungan untuk berperang pada zaman dahulu, meskipun pada masa modern polisi dan tentara juga menggunakan zirah yang lebih ringan dan fleksibel.

Zirah dan senjata dari Eropa.
Polisi anti huru-hara di Washington D.C., Amerika Serikat mengenakan pakaian perlindungan yang merupakan tipe zirah masa modern.

Dalam perkembangannya, zirah berkembang dari sekadar pakaian berbahan dasar kulit tebal (misalnya kulit trenggiling), kemudian lempengan logam yang dibentuk sesuai tubuh (misalnya kuiras), sampai yang termaju adalah rompi anti peluru. Saat ini yang dianggap sebagai baju zirah umumnya adalah baju besi. Pembagian jenis baju zirah yang terkenal adalah baju zirah dari jalinan rantai (zirah rantai), berbentuk sisik (zirah sisik), dan lempengan padat (zirah lempeng).

Zirah di Nusantara

Baju zirah juga digunakan di Nusantara. Akan tetapi, tidak semua prajurit memakai baju zirah. Baju zirah umumnya dikenakan oleh raja, bangsawan, dan prajurit yang lebih kaya atau berpangkat tinggi. Catatan awal mengenai baju zirah ada di prasasti Jambu (prasasti Pasir Koleangkak) dari abad ke-5 Masehi:

śrīmān=dātā kṛtajño narapatir=asamo yah purā [tā]r[ū]māya[ṃ] / nāmnā śrīpūrṇṇavarmmā pracuraripuṡarābhedadyavikhyātavarmmo / tasyedam=pādavimbadbadvayam=arinagarotsāda ne nityadakṣam / bhaktānām yandripāṇām=bhavati sukhakaraṃ śalyabhūtaṃ ripūṇām.

“Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya adalah pemimpin yang tiada taranya — Yang Termashur Sri Purnnawarman — yang sekali waktu (memerintah) di Taruma, dan yang baju zirahnya terkenal tidak dapat ditembus senjata musuh. Ini adalah sepasang telapak kakinya yang senantiasa berhasil menggempur kota-kota musuh, hormat kepada para pangeran, tetapi merupakan duri dalam daging bagi musuh-musuhnya”.[1]

Kakawin Ramayana (sekitar 870 M), yang merupakan versi Jawa dari epos Ramayana karya Valmiki (sekitar 500 tahun SM), menyebutkan pakaian dan zirah yang mencerminkan zamannya. Seorang anggota keluarga kerajaan disebutkan mengenakan mahkotanya, padaka (kerah, medali, atau pelindung dada), karambalangan (korset atau plastron) dan menggunakan baju besi berlapis emas bahkan dalam pertempuran.[2]:802[3]:27 Kakawin Ramayana juga menyebut istilah watek makawaca, yang berarti pasukan berbaju pelindung (armoured troops).[4]:77

Sebuah kuiras diberikan oleh Rudrayana kepada raja Bimbisara, relief candi Borobudur.

Sebuah baju zirah, atau lebih tepatnya kuiras,[5]:47 digambarkan pada relief cerita Divyavadana di candi Borobudur. Dalam cerita itu, dikisahkan bahwa Rudrayana mengirim hadiah kepada raja Bimbisara berupa kuirasnya yang terkenal yang tidak hanya memiliki kekuatan ajaib tetapi juga dihiasi dengan permata yang tak ternilai harganya.[6]:282 Kuiras itu digambarkan tanpa lengan dan tampaknya ditutup di depan.[7]:233, plat XXXVII

Prasasti Tamblingan Pura Endek I Lempeng Besar I mencatat adanya pembuat baju besi di Bali. Prasasti ini diperkirakan berasal dari tahun 844 saka (922 Masehi). Isi prasasti itu adalah:

...thani anteken ya parmasan ulih juru pande, apan khu tumkap baju besi.
...mereka tidak dikenakan pungutan parmasan oleh juru pande oleh karena mereka membuat baju besi.

Ini berarti orang Tamblingan tidak dikenakan pungutan parmasan oleh juru pandai besi oleh karena mereka membuat baju besi.[8]:12
Orang Cina mencatat bahwa pakaian perang yang terbuat dari tembaga yang dicetak digunakan negara di pantai barat Kalimantan yang disebut Pu-ni (kemungkinan Brunei). Sebagaimana dicatat Zhao Rugua dalam Zhu Fan Zhi (1170–1231):[9]:155[10]:201-202

"... jika mereka bertempur, mereka membawa pedang dan mengenakan baju pelindung. Baju ini dibuat dari tembaga yang dicetak dan berbentuk seperti tabung besar, dan dikenakan pada badan mereka untuk melindungi perut dan punggung."

Menurut Irawan Djoko Nugroho, baju itu di Jawa disebut sebagai kawaca dan digunakan oleh prajurit yang lebih kaya.[Catatan 1] Baju pelindung ini kemungkinan berbentuk seperti tabung panjang dan terbuat dari tembaga yang dicetak.[10]:202, 386 Sebaliknya, infanteri biasa (prajurit profesional, bukan rakyat wajib militer) mengenakan baju zirah sisik yang disebut siping-siping.[4]:75, 78, 79 Jenis baju zirah lain yang digunakan di Jawa era Majapahit adalah waju rante (zirah rantai) dan karambalangan (lapisan logam yang dikenakan di depan dada).[10]:202, 320[11][12] Dalam Kidung Sunda pupuh 2 bait 85 dijelaskan bahwa mantri-mantri (menteri atau perwira) Gajah Mada mengenakan baju besi dalam bentuk zirah rantai atau plastron dengan hiasan emas dan mengenakan pakaian kuning,[13]:103 sedangkan dalam Kidung Sundayana pupuh 1 bait 95 disebutkan bahwa Gajah Mada mengenakan karambalangan berhias timbul dari emas, bersenjata tombak berlapis emas, dan perisai penuh dengan hiasan dari intan berlian.[12][11]

Pasukan elit Sunda di bawah komando patih Anepaken pada saat tragedi Bubat (1357) dicatat mengenakan baju zirah sisik (sisimping atau siping-siping). Sebagaimana ditulis dalam Kidung Sunda:

Jajakanirabagus kadi ring surat, saha watang jininjring, asisimping emas, alancingan hot sabrang, pantes olahe prajurit, wangsya amenak, tus ning Sunda sinaring

Pengawalnya tampan, seperti dalam gambar; mereka memiliki tombak dari kayu jring, mengenakan zirah (sisimping) yang berwarna emas dan celana panjang (lancingan) dari bahan yang bagus. Mereka tahu bagaimana cara menunjukkan diri sebagai pendekar mulia dari keluarga yang baik, bunga pemuda Sunda.[13]:109[5]:69

Begitu pula pihak Majapahit pada Kidung Sunda, prajurit Jawa dicatat menggunakan siping-siping berwarna emas.[13]:103

Majapahit memiliki pasukan elit yang disebut Bhayangkara. Tugas utama pasukan ini adalah untuk melindung raja dan kaum bangsawan, namun mereka juga dapat diterjunkan ke pertempuran jika diperlukan. Hikayat Banjar mencatat perlengkapan Bhayangkara di istana Majapahit, termasuk pelindung dan senjatanya:

Maka kaluar dangan parhiasannya orang barbaju-rantai ampat puluh sarta padangnya barkupiah taranggos sakhlat merah, orang mambawa astenggar [senapan sundut] ampat puluh, orang mambawa parisai sarta padangnya ampat puluh, orang mambawa dadap [sejenis perisai][Catatan 2] sarta sodoknya [senjata mirip tombak dengan mata lebar][Catatan 3] sapuluh, orang mambawa panah sarta anaknya sapuluh, yang mambawa tumbak parampukan[Catatan 4] barsulam amas ampat puluh, yang mambawa tameng Bali bartulis air mas ampat puluh.
— Hikayat Banjar, 6.3[14]:Baris 1209–1214[10]:204–205

Xingcha Shenglan (星槎勝覽) yang ditulis oleh Fei Xin sekitar tahun 1436 menyebutkan bahwa Jawa (Majapahit) dilengkapi dengan tentara berbaju zirah dan perlengkapan perang, dan merupakan pusat masyarakat timur.[15][16] Haiguo Guangji (海国广记) dan Shuyu zhouzi lu (殊域周咨錄) mencatat bahwa Jawa sangat luas dan padat penduduknya, serta tentara berbaju zirah dan meriam tangan (火銃—huǒ chòng) milik mereka mendominasi lautan timur.[17]:755[18][19]

Putra Afonso de Albuquerque menyebutkan persenjataan Melaka setelah kejatuhannya pada tahun 1511: Ada senapan matchlock besar (arquebus Jawa), sumpitan beracun, busur, panah, baju berlapis besi (laudeis de laminas), tombak Jawa, dan jenis senjata lainnya.[20][21] Tidak diketahui apakah baju berlapis besi Malaka memang digunakan dalam pertempuran, atau hanya digunakan oleh kaum elit dan bangsawan, atau apakah itu murni pakaian upacara.[22] Rui de Araújo melaporkan bahwa sangat sedikit prajurit Malaka yang menggunakan baju zirah.[23]:376

Dua komunitas etnis terkait di Sulawesi Selatan, suku Bugis dan Makassar, juga mengadopsi baju besi rantai yang mereka sebut sebagai waju rante atau waju ronte. Zirah ini dibuat oleh untaian cincin besi yang diikatkan satu sama lain, yang membuatnya mirip dengan rajutan.[24]:39 Selama bertahun-tahun peperangan, tentara Bugis dan Makassar, mengenakan zirah rantai dan membawa senapan lontak yang mereka buat sendiri, mendapatkan reputasi yang hebat untuk keganasan dan keberanian mereka.[25]:431

Pada abad ke-17, kavaleri Jawa umumnya dilengkapi dengan baju rantai, misalnya pada tahun 1678 Kapten Tack bertemu dengan 240 penunggang kuda yang semuanya mengenakan baju besi, yang merupakan penombak dengan baju rantai. Kavaleri Trunajaya terdiri dari sekitar 150 orang bersenjatakan tombak dan kebanyakan dari mereka mengenakan baju rantai. Kapal kerajaan Banten tercatat memiliki pendayung yang mengenakan baju rantai.[26]:127

Suku Nias membuat baju zirah tradisional mereka yang disebut Baru Öröba.[27] Contoh yang paling awal dari baju pelindung ini terbuat dari kulit buaya. Setelah buaya tidak dapat ditemukan lagi di habitat alaminya di Nias, bahannya diganti dengan logam yang dipalu.[28] Orang Sunda memiliki kata yang disebut kutang, yang dapat diartikan corslet atau breastplate (zirah dada/plastron).[29]

Jenis zirah

Zirah non-logam

Bentuk awal zirah, dengan menggunakan kulit yang tebal diharapkan serangan dan goresan ringan dapat diatasi, tetapi sama sekali tidak berguna untuk mengatasi tebasan dan tusukan langsung.

Hoplite Yunani klasik menggunakan linothorax, dibuat dari beberapa lapis kain linen yang di rendam dalam lem untuk mendapatkan sepotong baju yang keras. Meski ada beberapa yang menganggap bahwa baju zirah ini sebenarnya menggunakan lapisan besi di antara lapisan kain.

Zirah rantai

Pada zaman dahulu, jenis zirah rantai adalah baju zirah yang paling fleksibel. Dibuat dari cincin-cincin yang salin sambung dan dijalin hingga seperti kaus, disebut hauberk. Banyak terlihat digunakan oleh orang-orang Gaul (Prancis modern), Keltik, dan Jerman kuno. Pada awal Republik Romawi juga digunakan sebagai seragam standar.

Rantai zirah ini cenderung pecah jika menghadapi tusukan, atau bahkan jika menghadapi tebasan yang cukup kuat. Karena sifatnya yang fleksibel maka pemakainya masih rentan terhadap senjata-senjata tumpul seperti tongkat, gada, atau pentungan.

Saat ini sudah ada mesin untuk membuat dan menyusun cincin-cincin besi yang dijalin menjadi baju zirah jenis ini. Biasanya baju zirah rantai yang menutupi seluruh tubuh beratnya sekitar 35 pon.

Zirah sisik

Zirah sisik.

Ini adalah jenis baju zirah yang digunakan secara luas sebagai baju zirah di Tiongkok, Persia, dan Bizantium. Biasanya dibuat dari potongan logam berbentuk segi empat atau segilima atau bahkan bulat yang dijahit saling bertumpuk satu sama lain ke sepotong kulit.

Kepopuleran baju zirah jenis ini terutama karena menawarkan perlindungan lebih baik terhadap serangan senjata tumpul daripada jalinan rantai. Karena inilah baju zirah ini populer digunakan pada masa Romawi sebagai alternatif baju zirah rantai.

Terdapat literatur yang menyatakan bahwa baju ini rentan terhadap tusukan yang mengarah ke atas, tetapi sangat jarang terjadi tusukan yang melewati(tanpa memecahkan) sisik-sisik baju zirah jenis ini. Bagaimanapun menusuk keatas dengan tepat cukup sulit dilakukan.

Pada masa silam sisik-sisik ini dibuat dari perunggu, besi, atau baja. Ini tergantung pada kondisi geografis pembuat dan juga tujuan pembuat.

Zirah lempeng

Ini adalah baju zirah yang sering diidentikkan dengan ksatria-ksatria eropa. Sebagaimana yang terlihat jika baju zirah ini akan sangat berat jika dibuat melindungi seluruh tubuh. Meski begitu tidak seperti anggapan umum baju zirah ksatria eropa tidak melebihi 45 pon walau dibuat dua lapis dan menutupi seluruh tubuh.

Salah satu baju zirah yang indah adalah baju zirah yunani klasik yang dibentuk menyerupai otot dada dan perut, banyak digunakan oleh petinggi dan bangsawan Yunani dan Romawi. Lorica segmentata adalah baju zirah standar kekaisaran Romawi yang dibentuk dari lempengan-lempengan panjang untuk menutupi dada, perut, dan bahu.

Terrdapat literatur yang menyatakan bahwa pada abad pertengahan akhir baju zirah jenis ini buatan Jerman cenderung lebih banyak memiliki 'paku' dibanding buatan Itali yang lebih mulus. Meski begitu keduanya tetap sebanding.

Pada perang dunia pertama terdapat sepasukan kekaisaran Jerman yang menggunakan baju zirah ini untuk memberikan perlindungan pada badannya, terutama karena belum adanya rompi anti peluru.

Catatan

Lihat juga

Referensi