Tuan Gadang

Tuan Gadang adalah gelar kebesaran untuk seseorang penghulu dalam struktur pemerintahan Pagaruyung.

Tuan Gadang dalam tambo

Tuan Gadang disebut dalam Tambo Minangkabau sebagai gelar yang disandang oleh seseorang pembesar yang berkedudukan di Batipuh, Tanah Datar. Dari beberapa versi tambo, Tuan Gadang merupakan salah seorang dari Basa Ampek Balai,[1][2][3] tetapi versi lainnya menganggap Tuan Gadang bukanlah termasuk dalam Basa Ampek Balai melainkan seorang panglima perang dari Raja Pagaruyung.[4][5] Perbedaan penafsiran tambo tentang kedudukan Tuan Gadang kemungkinan besar dipengaruhi oleh Perang Padri, kemudian disusul perlawanan rakyat Batipuh terhadap pemerintah Hindia Belanda yang dipimpin oleh Datuk Pamuncak,[2] tokoh yang terakhir kali menyandang gelar Tuan Gadang tersebut. Namun dari semua versi tambo, kedudukan Tuan Gadang dalam pemerintahan Pagaruyung cukup tinggi dan bergengsi. Tuan Gadang dalam Langgam Nan Tujuah, dikiaskan sebagai Harimau Campo Koto Piliang. Selain itu ia juga memiliki kekuasaan yang kuat pada nagari tempat kedudukannya serta hak memunggut cukai pada kawasan rantau seperti Pariaman.[6]

Datuk Pamuncak

Pada masa awal Perang Padri, setelah jatuhnya Pagaruyung ke tangan Kaum Padri, kawasan Batipuh termasuk basis terakhir Kaum Adat di Luhak Tanah Datar yang berhasil bertahan terhadap serangan Kaum Padri. Kemudian Datuk Pamuncak yang waktu itu menyandang gelar Tuan Gadang di Batipuh, bekerja sama dengan Pemerintah Hindia Belanda memerangi Kaum Padri. Setelah ditangkapnya Sultan Tangkal Alam Bagagar atas tuduhan pengkhianatan oleh Kolonel Elout, Datuk Pamuncak Tuan Gadang di Batipuh diangkat menjadi Regent oleh Belanda. Namun perubahan administrasi pemerintah Hindia Belanda di Minangkabau serta ditolaknya permintaan Tuan Gadang untuk diakui sebagai raja di Minangkabau, mendorong rakyat Batipuh bersama Tuan Gadang pada tanggal 22 Februari 1841 melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah Hindia Belanda yang dimulai dengan menyerang pos garnisun tentara Belanda yang berada di Padangpanjang. Pengaruh perlawanan rakyat Batipuh ini cepat menyebar ke kawasan lain, menebarkan huru-hara pada kawasan Fort de Kock dan Fort Van der Capellen, di mana beberapa pejabat Eropa dan pribumi terbunuh. Perlawanan rakyat ini juga tidak lepas dari penerapan cultuurstelsel di Minangkabau. Walau perlawanan ini dapat cepat diredam oleh Belanda, Tuan Gadang sendiri berhasil ditawan dan diasingkan ke Batavia.[7]

Setelah berakhirnya Pemberontakan Batipuh, kedudukan Tuan Gadang ini tidak lagi ada diisi oleh penghulu yang ada di Batipuh dan kemungkinan sistem pewarisan gelar tersebut diwariskan kepada pihak kemenakan sebagaimana halnya dalam sistem matrilineal yang dianut oleh masyarakat Minang.[8]

Lihat pula

Rujukan