Titthiya

Titthiya (Pāli; bahasa Sanskerta: tīrthika, "penyeberang-sungai," artinya "yang-berusaha-menyeberangi-arus-saṁsāra"[1]) adalah istilah yang mengacu kepada orang-orang yang tidak berlindung kepada Tiga Permata, yaitu para pengikut agama selain Buddhisme atau nonbuddhis.[2][3][4] Istilah "kaum titthiya" ditujukan untuk mereka yang meyakini setidaknya satu dari 62 pandangan salah (micchā-diṭṭhi), seperti meyakini adanya diri atau roh, sehingga sering juga disebut sebagai kaum micchā.[5]

Titthiya pengikut agama Jainisme sedang bermeditasi

Di dalam Tipitaka Pāli, istilah titthiya sering merujuk secara khusus pada penganut Brahmanisme (pra-Hinduisme), Jainisme, serta ajaran agama Enam Guru Sesat lainnya. Jika seorang Buddhis berlindung pada Tiga Permata dan menempuh Jalan Tengah di antara dua ekstrem, seorang titthiya tidak. Sang Buddha menyatakan bahwa titthiya adalah kaum yang tidak melakukan apa yang harus dilakukan, tidak menghindari apa yang tidak boleh dilakukan, berpikiran kacau, tidak menjaga diri mereka sendiri, tidak pantas menyandang gelar 'petapa', dan berpotensi terlahir kembali ke alam rendah.[6][7][8]

Beberapa istilah terkait yang sering digunakan adalah:[6][9][10]

  • Kata tittha, yang secara literal bermakna "penyeberangan-di-sungai," merujuk kepada agama-agama, bermakna bahwa agama tersebut berusaha memberikan “penyeberangan” untuk menyeberangi arus kekotoran dan mencapai Pantai Seberang (Nibbāna).
  • Tittha, dalam konteks Buddhisme, juga merujuk kepada agama yang meyakini setidaknya satu dari 62 pandangan-salah (micchā-diṭṭhi).
  • Titthakara adalah para pendiri agama tersebut, yaitu mereka yang memformulakan pandangan-pandangan itu.
  • Titthāyatanāni adalah landasan atau doktrin agama tersebut.
  • Titthiya adalah mereka yang menyetujui landasan atau doktrin tersebut (titthāyatanāni) dengan menganutnya.

Dalam teks biografis Aśokāvadāna, para titthiya yang iri dengan ajaran Buddha yang dipromosikan oleh Asoka berkumpul dan berkata satu sama lain, "Jika raja Asoka ini terus menjadi pemuja Buddha, semua orang yang didorong olehnya juga akan menjadi pengikut Buddha." Mereka kemudian mendatangi rumah-rumah penduduk dan menyatakan bahwa agama mereka adalah agama yang benar dan agama Buddha tidak mengarah kepada kecerahan.[11]

Pengikut agama Jainisme

Dalam Nigaṇṭha Sutta, Aṅguttara Nikāya 10.78, Sang Buddha menguraikan sepuluh kualitas buruk pengikut Jainisme:[12]

  1. Tidak memiliki iman (assaddhā)
  2. Dursila atau tidak bermoral (dussīlā)
  3. Tidak tahu malu (ahirikā)
  4. Tidak takut akibat perbuatan jahat (anottappino)
  5. Membaktikan diri pada orang-orang jahat (asappurisasambhattino)
  6. Memuji diri mereka sendiri sembari menghina orang lain (attukkaṁsakaparavambhakā)
  7. Menggenggam pandangan-pandangan mereka sendiri, memegangnya dengan erat, dan melepaskannya dengan susah-payah (sandiṭṭhiparāmāsā ādhānaggāhī duppaṭinissaggino)
  8. Para penipu (kuhakā)
  9. Memiliki keinginan jahat (pāpicchā)
  10. Menganut pandangan salah (pāpamittā)

Referensi

🔥 Top keywords: Halaman UtamaIstimewa:PencarianKejuaraan Eropa UEFA 2024KleopatraDuckDuckGoIduladhaTaqabbalallahu minna wa minkumJepangMinal 'Aidin wal-FaizinPeringkat Dunia FIFAKejuaraan Eropa UEFADavina KaramoyAhmad LuthfiTijjani ReijndersIndonesiaSunjaya Purwadi SastraRumaniaKurban (Islam)Dompet elektronikFacebookKejuaraan Eropa UEFA 2020Hari TasyrikYouTubeDaftar film Indonesia tahun 2024Joko AnwarTino KarnoAurélie MoeremansKualifikasi Piala Dunia FIFA 2026 (AFC)Hati SuhitaPembunuhan Muhammad Rizky Rudiana dan Vina Dewi ArsitaSapiKevin DiksCopa América 2024Lempar jamrahXNXXYandexMichelle ZiudithGoogle TerjemahanBen Sumadiwiria