Serangan lintas perbatasan di Sabah

artikel daftar Wikimedia
(Dialihkan dari Serangan Moro di Malaysia)

Serangan Moro di Malaysia adalah serangkaian serangan oleh orang Moro dari Filipina Selatan ke atas Malaysia Timur sejak periode Inggris.[31][40] Banyak warga sipil tewas atau menderita selama insiden ini, menyebabkan peningkatan sentimen anti-Filipina di antara penduduk asli Sabah, terutama setelah serangan besar pada tahun 1985, 2000, dan 2013.

Serangan Moro di Malaysia

Serangan Moro ke atas Sabah dari kurun ke-19 hingga kini.
TanggalTercatat sejak tahun 1846[8] – kini
(168 tahun)
LokasiUtara dan bahagian timur Kalimantan
(Serangan saat ini)
Hasil

Sedang berjalan

  • Serangan bajak laut di barat Sabah berhasil dihentikan dan kehancuran benteng terakhir bajak laut di Tunku iaitu timur Sabah oleh Inggris.[9]
  • Deportasi Nur Misuari ke Filipina pada tahun 2001 setelah ia tinggal secara ilegal di sebuah pulau di Sabah untuk melarikan diri dari otoritas Filipina setelah pemberontakan yang gagal.[10]
  • Pembentukan RCI pada tahun 2012.
  • Pembentukan ESSCOM dan ESSZONE pada tahun 2013.[11][12]
  • Deportasi ribuan imigran ilegal Filipina di Sabah karena mereka menjadi musuh dalaman dan pengkhianat ketika kebuntuan 2013.[13][14]
Pihak terlibat

Imperium Britania

 Australia (1959–66)
 Selandia Baru (1957–66)


 Malaysia (1963–kini)


Didukung oleh:
 Brunei (bantuan moral dan material)[1][2][3][4]
 Filipina[5]

 Amerika Serikat (bantuan material)[6][7]

Bajak laut Moro (sejak 1846)


Abu Sayyaf (2000–kini)


Misuari MNLF (2001–kini)


Kesultanan Sulu (fraksi Jamalul Kiram) (2013–kini)


Didukung oleh:

Filipina (1963–68)
Tokoh dan pemimpin

Henry Keppel (1846–49)
James Brooke (1846–49)
Johnson Brooke (1862)
William Pryer (1879)[15]
Roland Turnbull (1954–59)[16]


Najib Razak (kini)
Musa Aman (kini)


Didukung oleh:

Benigno Aquino III[5]

Berbagai pemimpin bajak laut
Saudara Muktadil (sejak 2014)[17]


Nur Misuari[18][19]


Jamalul Kiram III
Agbimuddin Kiram
Ismael Kiram II[20]
Phudgal Kiram[20]


Didukung oleh:

Diosdado Macapagal
Ferdinand Marcos
Pasukan

Angkatan Bersenjata Inggris[16]
 Angkatan Laut Australia[21]
 Angkatan Laut Kerajaan Selandia Baru[22][23]


Angkatan Bersenjata Malaysia
Polisi Diraja Malaysia


Angkatan Laut Filipina (memantau)[24]

Bajak laut Moro
Saudara Muktadil[25]


Penggarong Abu Sayyaf


Pengikut Misuari


Pasukan Keamanan Kerajaan Kesultanan Sulu dan Borneo Utara
Kekuatan
Pasukan Inggris:
  • HMS Dido
  • Konstabulari Inggris[26]
  • Pasukan Dataran Tinggi Ratu[27]
    • Pasukan Penembak Gurkha[28]

Pasukan Australia

  • HMAS Tobruk (D37)[21]

Pasukan Selandia Baru

Pasukan Malaysia:

  • ~kira-kira 10,000
Yang lain tidak diketahui

Pengikut Kiram:

Korban
Pasukan Inggris:

Pasukan Malaysia:

Bajak laut Moro:

Pengikut Kiram:

Penyusup tak dikenal:

~ Total diperkirakan lebih tinggi dari apa yang telah ditampilkan.

Latar belakang

Budaya Orang Moro

Ini telah menjadi bagian dari budaya untuk Kesultanan Sulu terlibat dalam aktivitas bajak laut.[31][41][42] Selama ekspedisi oleh kapal Inggris HMS Dido pada tahun 1846, Kapten Henry Keppel bahkan menyebutkan;

Bajak laut yang paling tidak pernah putus asa dan aktif dari seluruh Kepulauan Melayu adalah suku dari kelompok pulau Sulu yang terletak dekat dengan pantai utara Kalimantan.[8]

— Kapten Henry Keppel.

Kepulauan Sulu terkenal dengan aktivitas "pasar budak" dengan orang mereka sering ke Pulau Kalimantan untuk mencari budak.[43] Pada tahun 1910, tetangga Inggris, iaitu Hindia Belanda di Kepulauan Sulawesi diserang oleh tujuh bajak laut Moro yang telah menyeberang dari selatan Filipina, dua pedagang Belanda tewas dalam insiden itu.[40] Laporan selanjutnya dari pemerintah Inggris di Borneo Utara melaporkan bahwa Moro Jolo meneror penduduk Kalimantan Utara, menjarah kota-kota kecil dan membunuh orang.[26] Meskipun Inggris melakukan banyak untuk memerangi pembajakan,[40] kantor perusahaan Inggris kemudian digerebek oleh dua belas bajak laut Moro di Kalabakan pada Juli 1958. Serangan serius lain yang lebih awal dilakukan pada kota terdekat Semporna pada 29 Maret 1954.[16] Selama tahun terakhir pemerintahan Inggris di Borneo Utara, baik pelaut dan permukiman pesisir mengalami tingginya jumlah serangan dari bajak laut yang diyakini berasal pada Tawi-Tawi.[31] Antara tahun 1959 dan 1962, sudah 232 kali bajak laut menyerang dicatat oleh otoritas Inggris di Borneo Utara, tetapi ini dianggap cuma sedikit kerna lebih banyak serangan tidak dilaporkan.[31] Gubernur Borneo Utara pada saat itu, Roland Turnbull pernah meminta bantuan ke pangkalan Inggris di Britania Raya untuk memberikan dia keamanan dari Angkatan Laut dan Angkatan Udara Britania Raya tetapi tidak ada bantuan dikirim sehingga media Inggris, Daily Telegraph menghiasi laporan anti-Indonesia ketika sudah dekat dengan era konfrontasi;[16]

Borneo Inggris telah selama bertahun-tahun menjadi sasaran serangan dari bajak laut dari Filipina dan Indonesia, media itu mengklaim.[16]

Migrasi Moro ke Sabah

Arus migrasi wilayah di Asia Tenggara bukan fenomena yang luar biasa. Hubungan sosial dan budaya antara Sabah, bagian selatan Filipina dan provinsi Kalimantan Utara di Indonesia telah wujud selama berabad-abad. Tradisi migrasi dari Kepulauan Sulu ke Sabah wujud dari abad ke-16.[44] Gelombang pertama migrasi ini dikaitkan dengan penjajah Spanyol yang mulai mendorong ke selatan menuju pulau Sulu dan Tawi-Tawi dari Manila, yang merupakan pusat administrasi Spanyol selama waktu itu. Perjuangan dominasi antara kelompok etnis yang berbeda dan Spanyol di wilayah selatan Filipina menyebabkan meningkatnya imigrasi kelompok etnis Moro Filipina yang kebanyakannya Suluk dan Bajau ke Sabah.[44]

Sebuah pemukiman besar etnis Moro di Pulau Gaya berdekatan Kota Kinabalu.

Kedatangan imigran ilegal pertama di Sabah pada tahun 1960 dikatakan terkait dengan presiden Filipina saat itu Ferdinand Marcos dan klaim negaranya untuk wilayah utara pulau Kalimantan.[44] Pada saat yang sama, Suluk dari selatan Filipina, Mustapha Harun menjadi Ketua Menteri ketiga bagi Sabah. Selama masa jabatannya dari tahun 1967 sampai tahun 1975, ia diyakini telah mendorong banyak warga Suluk untuk pindah ke bagian utara pulau Kalimantan untuk mendirikan sebuah komunitas Muslim yang kuat yang diwakili oleh Organisasi Nasional Bersatu Sabah (USNO).[44] Migrasi tinggi mendadak ke Sabah dapat dijelaskan dengan niat individu politisi berusaha untuk mencapai tujuan-tujuan politik dan pribadi mereka.[44]

Faktor-faktor lain yang menyebabkan migrasi yang tinggi ini disebabkan oleh ketidakstabilan Filipina pada tahun 1977 yang telah menyebabkan masalah ekonomi utama untuk Sabah.[34] Serangan tentara Filipina terhadap fraksi anti-Marcos di Pulau Sulu dan Mindanao telah meninggalkan banyak infrastruktur hancur, memaksa sekitar 100,000 orang Moro di Selatan Filipina mengungsi ke Sabah. Sementara mereka yang tidak meninggalkan pulau Filipina telah terlibat dalam kegiatan kriminal, terutama pada penyelundupan dan perampokan bersenjata.[34] Sampai hari ini, sejumlah besar imigran ilegal Moro hadir di sebagian besar kota Sabah seperti Kota Kinabalu, Kinarut, Lahad Datu, Sandakan, Semporna, Tawau dan Telipok.[45][46][47][48][49]

Selain itu, kesenjangan ekonomi antara selatan Filipina dan Sabah menjadi alasan utama mengapa banyak warga ilegal Moro menyelinap ke Malaysia. Beberapa warga Moro ini juga masih menganggap bagian timur Sabah adalah bagian dari negara Filipina yang membuat mereka merasa bahwa mereka bisa masuk Sabah karena hak istimewa atau hak sejarah mereka.[50]

Pada tahun 2014, Intelijen Koordinasi Keamanan Perintah Keselamatan Timur Sabah (Esscom) Hassim Justin telah menyalahkan pada korupsi, penerbitan kartu identitas ilegal dan otoritas lokal yang tidak mengambil tindakan apapun untuk memerangi koloni liar yang sekarang telah mengkontribusi pada peningkatan tinggi populasi imigran ilegal di Sabah, ia menyebutkan tentang budaya imigran tersebut;

Meskipun orang asing ini tinggal di Sabah, loyalitas mereka ke Filipina tidak pernah hilang dan mereka membawa kejahatan seperti narkoba, penyelundupan dan pembajakan. Orang-orang Filipina dari wilayah ini juga pendendam dan pemarah, di mana bila ada perselisihan sering kali mengakibatkan penembakan dan berakhir dengan perseteruan berdarah. "Suatu budaya yang mereka sering sebut sebagai Rido".[51]

Serangan

Abad ke-20

Pada tahun 1962, tujuh orang Moro Filipina bersenjata dengan parang menyerang kota Kunak dan merampok pengusaha di sana. Mereka sekali lagi menyerang pada tahun 1963, kali ini menyerang kota Semporna dan membunuh sejumlah penduduk.[30] Pada bulan Oktober 1979, sebuah kapal penumpang dalam perjalanan ke Semporna dari Lahad Datu dengan 48 penumpang diserang dan dipaksa ke Pulau Adal. Tiga penumpang tewas ditembak, seorang perempuan diperkosa dan penumpang yang lainnya dibawa ke Filipina tetapi segera ditemukan oleh pasukan keamanan Filipina. Pada tahun 1980, sebuah kelompok yang terdiri dari 6-8 orang Moro menyerang sebuah pulau dekat Semporna dengan senapan M-16, membunuh penduduk desa sementara mereka masih tidur. Pada akhirnya, tujuh warga desa tewas sementara 11 lainnya luka-luka. Pada tahun 1982, sebuah kelompok masyarakat Moro sekali lagi menyergap sebuah desa di Pulau Timba-Timba, mereka mulai menembak, merampok dan membunuh penduduk desa. Motif segera ditemukan adalah kerna balas dendam. Sementara insiden pada tahun 1985 dianggap sebagai salah satu insiden yang paling menakutkan apabila 21 orang terbunuh dan 11 lainnya luka-luka. Sebagai pembalasan, lima dari penyusup ini kemudiannya dibunuh oleh polisi laut Malaysia sementara yang lain berhasil meloloskan diri. Pada akhir tragedi itu, salah satu korban mengatakan;

Aku tidak bisa berhenti bertanya pada pemerintah kita, yang tidak bisa melindungi kami dari perampok tersebut.[34]

Pada tahun 1987, dua manajer Jepang tewas sementara yang lain terluka setelah dua belas penyusup Moro menyerang sebuah pabrik di Pulau Boheydulang, memaksa perusahaan tersebut untuk tutup dan memindahkan pabrik mereka ke Indonesia.[33]

Pada tahun 1996, dua kelompok bersenjata dari selatan Filipina menyerang kota Semporna, kumpulan pertama menyerang kantor polisi dengan melemparkan bom ikan sedangkan kelompok kedua berhasil mencuri perhiasan senilai sekitar RM100,000 di sebuah toko emas. Selama tembak-menembak, dua anggota dari kelompok ini ditangkap polisi Malaysia dengan 200 peluru berhasil dirampas. Namun, sebagian dari mereka berhasil meloloskan diri. Pada bulan Maret 1996, serangan lain dari 10-20 orang Moro terjadi pada kota Semporna ketika tiga kelompok bersenjata yang terpisah menyerang tempat yang berbeda dalam waktu yang sama. Kelompok pertama menyerang markas polisi sementara kelompok kedua menyerang kantor polisi. Motif mereka diketahui apabila dua kelompok ini sebenarnya membuat waktu tertunda sementara membiarkan keberhasilan kelompok ketiga dalam merampok toko emas. Tidak ada penangkapan dilakukan dan semua penyusup berhasil meloloskan diri dengan RM200,000. Sekali lagi pada bulan Juli 1996, empat pria bersenjata menyerang sebuah toko emas di Tawau dan berhasil mencuri perhiasan senilai sekitar RM150,000. Namun, salah satu pria bersenjata kemudian membuat kesalahan ketika ia mundur ke sebuah desa pengungsi di Tawau di mana ia ditembak mati oleh polisi. Setelah satu jam penyelidikan, 5 orang bersenjata dari kelompok lain turut dibunuh oleh polisi.[33]

Abad ke-21

Pada tahun 2000, kelompok Abu Sayyaf menculik sejumlah besar sandera. 10 daripadanya adalah para wisatawan dari Eropa dan Timur Tengah, sementara 11 adalah pekerja resort Malaysia. Semua sandera kemudian diselamatkan oleh pasukan keamanan Filipina di Jolo, Sulu. Pada tahun 2003, enam orang asing diculik oleh 10 bajak laut Moro. Pada tahun 2004, dua warga Serawak dan seorang warga Indonesia diculik oleh kelompok berbasis Abu Sayyaf. Pada tahun 2005, lima warga Filipina menculik tiga awak Indonesia dari sebuah perusahaan perdagangan berbasis Sandakan di Pulau Mataking berhampiran Semporna. Pada tahun 2010, sekumpulan kru kapal nelayan ditangkap kelompok bersenjata Filipina ketika perahu mereka tersesat ke perairan Filipina dekat Pulau Boan. Semua kru kemudian dibebaskan tanpa sebarang uang tebusan dibayarkan. Juga pada tahun yang sama, seorang manajer dan pengawasan rumput laut diculik oleh empat warga Filipina bersenjata di Pulau Sebangkat. Kedua korban dibebaskan 11 bulan kemudian. Pada tahun 2011, sepuluh warga Filipina bersenjata menculik seorang pengusaha Malaysia.[30] Pada 11 Februari 2013, sekelompok warga Filipina berada dalam sekitar 100-200 orang, yang mana beberapa dari mereka bersenjata, tiba dengan perahu di Lahad Datu, Sabah dari pulau Simunul, Tawi-Tawi, di selatan Filipina.[52] Mereka dikirim oleh Jamalul Kiram III, salah satu pengadu ke tahta Kesultanan Sulu. Tujuan mereka adalah untuk menegaskan klaim teritorial yang belum terselesaikan pada Sabah. Selama kebuntuan, 68 pengikutnya tewas termasuk 2 warga sipil dan 10 polisi dan tentara Malaysia.[53][54][55] Pada November 2013, tersangka militan Abu Sayyaf menewaskan seorang warga Taiwan di Pulau Pom Pom dan membebaskan istrinya sebulan kemudian di selatan Filipina.[56]

Pada bulan Januari 2014, sebuah percobaan penyusupan lebih lanjut oleh unsur-unsur asing di Sabah dapat diblokir oleh pasukan keamanan Malaysia.[57] Pada 2 April 2014, seorang turis Cina dan warga Filipina diculik dari Singamata Adventures Reef and Resort, Semporna. Dua bulan kemudian, mereka diselamatkan oleh pasukan keamanan Malaysia dan Filipina. Pada tanggal 6 Mei 2014, penculikan yang melibatkan seorang warga negara Cina terjadi di Silam, dekat daerah Lahad Datu di Sabah.[56] Ia kemudian dibebaskan pada 10 Juli.[58] Pada tanggal 16 Juni, seorang peternak ikan dan pekerja Filipina diculik dari Kunak.[59][60] Manajer peternakan ikan dibebaskan pada tanggal 13 Desember dengan bantuan dua perunding Filipina, dengan salah satu dari mereka adalah pemimpin dari Front Pembebasan Nasional Moro.[61] Pada tanggal 12 Juli, seorang polisi ditembak mati dan polisi laut lainnya diculik di Mabul Water Bungalows Resort, Pulau Mabul.[59][61][62][63] Polisi itu kemudian dibebaskan pada tanggal 7 Maret 2015, setelah 9 bulan di penangkaran. Pada bulan Oktober 2014, dua nelayan Vietnam yang bekerja untuk majikan Malaysia, telah ditembak oleh bajak laut Filipina. Semua dari mereka kemudian diselamatkan oleh pasukan keamanan Malaysia dan dikirim ke Rumah Sakit Queen Elizabeth di Kota Kinabalu, Sabah.[64][65]

Taktik serangan

Taktik ini berbeda berdasarkan motif mereka untuk setiap kelompok, pada dasarnya mereka akan menyerang dan melarikan diri ke wilayah Filipina atau pulau terdekat ketika kegiatan mereka terlihat oleh pasukan keamanan. Pada saat modern ini, mereka biasanya akan mencuri mesin perahu, makanan dan hal-hal lain yang berguna seperti televisi dan bahkan decoder Astro.[66] Dalam beberapa kasus, orang Moro juga menyerang kota-kota, membunuh warga sipil tak berdosa dan penculikan seperti yang dibuktikan pada serangan Lahad Datu dan Semporna.[33] Imigran ilegal Filipina memainkan peran penting untuk membantu mereka untuk memberikan informasi tentang target mereka yang selanjutnya.[14]

Langkah penanggulangan

Keamanan geografi

Polisi Laut Malaysia berpatroli di perairan sekitar Semporna terutama pada desa Bajau Laut untuk mencegah intrusi selanjutnya.

Sejak zaman pemerintahan Inggris, Inggris telah mengalami sejumlah besar serangan dari bajak laut, hal ini menyebabkan pengerahan Henry Keppel dan James Brooke pada tahun 1846 untuk mencari setiap sarang bajak laut di utara pulau Kalimantan.[8] Setelah perjalanan panjang berjuang dengan bajak laut, sarang bajak laut terakhir di Tunku, Lahad Datu dihancurkan oleh Inggris.[67]

Intrusi terbaru tahun 2013 membuat pemerintah Malaysia menetapkan Perintah Keselamatan Timur Sabah (ESSCOM), Zona Keamanan Timur Sabah (ESSZONE) dan mengerahkan aset ketentaraan terbesar bagi Sabah.[68] Selain aktivitas serangan bajak laut Moro dan Abu Sayyaf yang tak terbendung, pemerintah Malaysia telah memutuskan untuk memberlakukan jam malam di perairan timur Sabah dan mulai menggunakan radar untuk mendeteksi aktivitas yang mencurigakan pada setiap pemukiman kecil di sepanjang kawasan pantai timur.[69][70]

Terdapat juga panggilan dari mantan Ketua Menteri Sabah, Harris Salleh kepada pemerintah federal Malaysia untuk mempertimbangkan kembali usulan untuk memindahkan pangkalan Angkatan Udara Malaysia (RMAF) dari Butterworth ke Labuan. Dia menyarankan pangkalan angkatan udara harus dipindahkan ke Tawau untuk kepentingan keamanan di timur Sabah.[71] Menteri Transportasi Malaysia, Liow Tiong Lai juga telah mengusulkan untuk memperluas wilayah ESSCOM dan ESSZONE untuk menutupi seluruh Sabah sebagaimana yang telah diusulkan oleh Yong Teck Lee.[72]

Pada tanggal 23 Januari 2015, Angkatan Udara Kerajaan Brunei memberi tetangga Malaysia empat helikopter S-70A Black Hawk sebagai hadiah. Malaysia mengatakan bahwa ia akan menggunakannya dalam penambahan aset yang tersedia untuk mempertahankan Sabah dari kemungkinan serangan lebih lanjut oleh warga Moro Filipina.[4] Pada tanggal 28 Februari, Amerika Serikat memasok 12 kapal kepada Perintah Keselamatan Timur Sabah (ESSCOM) setelah sejumlah perjanjian yang ditandatangani antara kedua negara pada tahun 2014 ketika kunjungan Presiden Obama ke Malaysia.[6][7]

Keamanan sosial

Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad telah menyarankan pemerintah Sabah untuk menghapus semua desa air di timur Sabah dan memukimkan kembali masyarakat lokal di sana kerana era desa air telah berlalu dan gaya hidup warga desa di sana yang tinggal di laut tidak cocok untuk cara hidup modern di Malaysia sebagai bangsa yang bertujuan untuk mencapai Visi 2020.[73] Anggota Parlemen Sabah, Rosnah Shirlin mencadangkan penutupan kamp pengungsi Filipina di Kinarut, mengatakan ia adalah ancaman bagi keamanan di daerah Papar. Dia mengutip;

Kamp pengungsi ini telah menjadi masalah bagi penduduk daerah. Kamp ini telah menjadi sarang narkoba dan kegiatan kriminal lainnya. Selama bertahun-tahun, banyak perampokan terjadi di desa-desa terdekat dan pelaku yang ditangkap sebagian besar dari kamp ini. Seharusnya, situasi membaik di Filipina saat ini telah dipertanyakan apakah orang Filipina ini masih bisa dianggap sebagai pengungsi. Kamp ini didirikan di atas lahan seluas 40 hektar dekat Kampung Laut di awal tahun 1980-an oleh Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR). Namun UNHCR telah lama berhenti memberikan dana ke kamp dan sebagai hasilnya, banyak orang asing ini telah bekerja di luar kamp. Para pengungsi ini bahkan berani memperluas wilayah kamp, melanggar batas tanah desa terdekat dan hari ini, kamp ini telah menjadi sumber terbesar distribusi sabu-sabu di Papar.[74]

— Rosnah Shirlin, Anggota Parlemen Sabah.

Pemimpin Partai Bersatu Rakyat Sabah, Joseph Kurup berbagi pandangan yang sama tentang hal ini, menambahkan pengungsi dan imigran Moro harus kembali dan mengembangkan tanah air mereka di Mindanao, Filipina kerana situasi perdamaian semakin dipulihkan di sana.[75] Mantan Ketua Menteri Sabah, Yong Teck Lee telah menyarankan untuk menangguhkan layanan feri di Sandakan untuk memblokir migrasi warga Moro dari selatan Filipina yang kini telah menjadi masalah utama bagi Sabah apabila mereka tidak mahu pulang dan tinggal secara ilegal.[76][77] Pada bulan Oktober 2014, Menteri Dalam Negeri, Ahmad Zahid Hamidi mengumumkan bahwa semua anak tanpa kewarganegaraan di Sabah akan diberikan akta kelahiran untuk keperluan sekolah.[78] Usulan itu segera ditentang oleh sejumlah politisi Sabah baik dari pihak oposisi ataupun pemerintah seperti Joseph Pairin Kitingan, Darell Leiking dan Yong Teck Lee, sambil mengutip bahwa tindakan itu hanya akan membawa masalah besar bagi Sabah pada masa depan.[79][80][81] Sementara pemimpin partai oposisi lain Sabah, Jeffrey Kitingan telah mencadangkan akta kelahiran berbeda dikeluarkan untuk orang asing.[82] Anggota Legislatif Sabah bagi bagian Kamunting di Sandakan, Charles O Pang percaya sistem pendidikan akan terbebani jika kemungkinan anak-anak tanpa kewarganegaraan diberikan akta kelahiran. Dia memberitahu;

Menurut survei tak bernegara bagian Sabah, diperkirakan bahwa sekitar 36,000 anak tanpa kewarganegaraan asal Indonesia tinggal di negara bagian ini dan sebagian besar majikan tahu mereka bekerja di perkebunan kelapa sawit. Sementara anak-anak tanpa kewarganegaraan dari Filipina diperkirakan jauh lebih tinggi. Dia tidak menyangkal bahwa kebanyakan mereka datang ke Sabah untuk mencari kehidupan yang lebih baik tetapi masalah yang ditimbulkan oleh gelombang manusia ilegal hanya akan membawa masalah besar. Jelasnya, skenario ini menciptakan situasi yang tidak adil bagi Malaysia dalam arti kata bahwa kita adalah pembayar pajak, dan siapa yang harus membayar biaya tinggi bagi anak-anak ilegal ini tidak hanya di sekolah, tetapi juga bagi hal pemeliharaan hidup mereka?[83]

— Charles O Pang, Anggota Legislatif Sabah bagi bagian Kamunting di Sandakan.

Jumlah ongkos besar telah dikeluarkan untuk pemeliharaan kehidupan imigran ilegal Filipina dan jumlah ini belum dibayar sampai saat ini meskipun upaya untuk mendapatkan kembali uang. Departemen Kesehatan Sabah mengatakan bahwa penyakit berbahaya dari imigran ini semakin menular sehingga membutuhkan lebih banyak pengeluaran ongkos, serta keperluan dana lebih bagi mengakomodasi logistik seperti petugas medis dan lain-lain.[84] Anggota Majelis bagi bagian Kiulu, Sabah, Joniston Bangkuai menunjukkan pandangan yang sama mengenai isu imigran ilegal Filipina ini. Dia mengatakan;

Warga ilegal Filipina ini datang ke sini untuk mencari penghidupan. Mereka datang untuk mencari pekerjaan, tetapi sekarang mereka semakin bertambah, dengan beberapa perempuan mereka melahirkan sebanyak 10 orang anak, tetapi mereka tidak mengurus anak mereka dengan baik.[85]

— Joniston Bangkuai, Anggota Majelis bagi bagian Kiulu, Sabah.

Direktur Departemen Pendaftaran Nasional Sabah (NRD), Ismail Ahmad telah menjelaskan bahwa penerbitan sertifikat kelahiran tidak membuat anak-anak tanpa kewarganegaraan ini menjadi warga Malaysia atau warga Sabah kerana sertifikat ini akan hanya digunakan untuk merekam dan memantau perkembangan mereka untuk menunjukkan bahwa anak-anak ini lahir di Sabah.[86] Selain itu, tes DNA sekarang antara metode yang digunakan untuk memastikan hanya warga asli dikeluarkan dengan akta kelahiran Malaysia jika mereka terlambat mengajukan pendaftaran kelahiran.[87] Setelah beberapa diskusi, Kabinet Malaysia kemudian memutuskan untuk hanya memberikan dokumen kelahiran khusus bukan akta kelahiran sebagaimana diumumkan oleh Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak.[88][89]

Organisasi Bersatu Pasokmomogun Kadazandusun Murut (UPKO) akan menyajikan solusi setelah mereka telah memperoleh laporan Komisi Penyelidikan yang penuh, antara usulan utama adalah mengambil kembali kartu identifikasi penduduk Sabah dan mengeluarkan semula kartu identifikasi tersebut cuma pada penduduk asli Sabah.[90] Mantan politisi lainnya telah meminta pemerintah federal untuk menyelidiki aksi beberapa individu mengakui bahwa mereka adalah darah kerajaan Kesultanan Sulu dan telah memberi banyak gelar kepada penduduk lokal Sabah dan orang-orang dari Malaysia Barat hingga saat ini, menambah tindakan itu seharusnya tidak terjadi di sini karena kebuntuan 2013 itu terjadi ketika pasangan dari Filipina datang ke negara ini untuk mengunjung semua warga Suluk di sini. Ketika mereka ditanya untuk apa tujuan kunjungan mereka, mereka hanya mengatakan bahwa di Sabah, ada sekitar 1,5 juta warga Suluk dan mereka ingin berdiskusi dengan otoritas yang relevan untuk mengurus warganya. Tapi setelah mereka kembali ke Filipina, tiba-tiba terjadi insiden 2013. Ini adalah orang-orang yang mengatakan bahwa Tanduo milik Kesultanan Sulu. Mantan politisi itu juga menambah bahwa setelah kejadian tersebut, sering kali ada insiden seperti penculikan dan pembunuhan turis dan polisi.[91]

Kebanyakan pemimpin Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) di Sabah memuji langkah-langkah drastis yang diumumkan oleh Ketua Menteri Sabah Musa Aman untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh imigran ilegal.[92] Namun, mantan anggota parlemen partai UPKO, Wilfred Bumburing mengingatkan anggota Barisan Nasional (BN) tidak harus mengambil kredit mendirikan Komisi Penyelidikan (RCI) karena ia cuma didirikan setelah banyak tekanan dari penduduk asli Sabah.[93] Sementara Partai Bersatu Sabah (PBS) mengatakan pemerintah Filipina yang harus disalahkan atas penderitaan warganya di Sabah, ini sebagai respon terhadap pernyataan oleh Dubes Filipina ke Malaysia, J. Eduardo Malaya yang menekankan bahwa anak migran Filipina di Malaysia layak pendidikan formal. Sementara ia mendukung saran tersebut, Sekretaris Jenderal partai itu Jenderal Johnny Mositun mengingatkan:[94]

Jumlah orang Filipina di Sabah, legal atau ilegal, sangat besar tetapi apa usaha yang telah dilakukan Manila, atau sedang lakukan, untuk melihat pendidikan mereka? Karena penolakan Manila sendiri untuk membuka Kantor Konsuler di Sabah yang membuat ratusan ribu warga Filipina hidup sulit di negara bagian Sabah dan Malaysia pula harus menanggung biaya. Hampir setengah dari pasien yang menggunakan rumah sakit Sabah sebagian besarnya adalah warga Filipina. Sudah empat dekade, warga Filipina di Sabah - pengungsi, pekerja migran dan imigran ilegal - semuanya tidak pernah dipedulikan atau diberi bantuan dari pemerintah Filipina. Mereka cuma dapat bertahan hanya karena Pemerintah Malaysia berpegang teguh pada norma, standar hukum dan hak asasi manusia internasional. Kami menyediakan pekerjaan bagi mereka, mereka memanfaatkan semua fasilitas sipil kami, dan sekarang kami pula harus mendidik anak-anak mereka. Apa lagi selanjutnya?[94]

— Johnny Mositun, Sekretaris Jenderal Partai Bersatu Sabah.

Pemimpin Sabah lain seperti Darell Leiking setuju dan mengingatkan pemerintah Filipina untuk meniru rencana Pemerintah Indonesia dengan mendirikan konsulat di Sabah untuk menjaga warga negara mereka dan mendirikan sekolah bagi anak-anak warga mereka. Pada sebuah pernyataan, ia mengatakan:[95]

Pemerintah Filipina harus menerima kenyataan bahwa Sabah adalah negara yang berdaulat dan mereka perlu mendirikan konsulat di negara bagian ini untuk kebaikan rakyatnya. Migran Filipina harus terdaftar untuk memungkinkan mereka untuk memiliki kesempatan yang lebih baik di Sabah, untuk memiliki kehidupan dan pekerjaan tepat karena ia tidak adil untuk memaksakan masalah Filipina kepada Sabah atau pemerintah Malaysia hanya karena pemerintah Filipina gagal untuk bertanggungjawab atas rakyatnya sendiri.[95]

— Darell Leiking, anggota oposisi (PKR).

Referensi

Catatan