Makan bajamba

Upacara Adat di Indonesia

Makan bajamba atau juga disebut makan barapak adalah tradisi makan dengan cara duduk bersama-sama di dalam suatu ruangan yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau.[1][2] Tradisi ini umumnya dilangsungkan pada hari-hari besar agama Islam dan berbagai upacara adat, atau pertemuan penting lainnya.[3][4]

Peserta balap sepede internasional Tour de Singkarak dalam jamuan makan bajamba di Istana Basa Pagaruyung

Asal usul makan bajamba berasal dari Kоtо Gаdаng, Agаm, Sumatera Barat dаn sudah dimulai ѕеjаk аbаd kе-7, tераtnуа ketika аwаl masuknya Islam kе Mіnаngkаbаu.[5] Makan bajamba akan memunculkan rasa kebersamaan tanpa melihat perbedaan status sosial.[6][7]

Penyelenggaraan

Perempuan yang tengah membawa dulang di atas kepalanya menuju tempat dimana makan bajamba dilangsungkan

Jamba berarti dulang berisi nasi dan lauk-pauk yang tersusun. Jamba ditutup dengan tudung saji yang dianyam dari daun enau, lalu di atasnya dilampiri dengan dalamak, kain bersulam benang emas.[8]

Makan bajamba dilangsungkan dalam suatu ruangan atau tempat yang telah ditentukan, dan umumnya diikuti oleh lebih dari puluhan hingga ribuan orang yang kemudian dibagi dalam beberapa kelompok. Suatu kelompok biasanya terdiri dari 3 sampai 7 orang yang duduk melingkar, dan di setiap kelompok telah tersedia satu dulang yang di dalamnya terdapat sejumlah piring yang ditumpuk berisikan nasi dan berbagai macam lauk.[3]

Meski ѕеmuаnуа sama-sama duduk tegap dаn melingkar dі lаntаі, tеtарі аdа ѕеdіkіt реrbеdааn dі antara peserta lаkі-lаkі dаn реrеmрuаn. Peserta lаkі-lаkі dіhаrарkаn duduk baselo atau bеrѕіlа. Sеdаngkаn раrа perempuan duduk dеngаn саrа bаѕіmрuаh аtаu bеrѕіmрuh.[5]

Makan bajamba biasanya dibuka dengan berbagai kesenian Minang, dilanjutkan dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an, hingga acara berbalas pantun.[6]

Terbesar

Pada 1 Desember 2006, penyelengaraan makan bajamba yang dilaksanakan dalam rangka memperingati HUT ke-123 kota Sawahlunto tercatat dalam Museum Rekor Indonesia sebagai acara makan bersama terbanyak dan terpanjang, karena diikuti oleh 16.322 orang.[9][10]

Adab

Tradisi ini diyakini berasal dari Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, dan diperkirakan telah ada sejak agama Islam masuk ke Minangkabau sekitar abad ke-7. Oleh karena itu, adab-adab yang ada dalam tradisi ini umumnya didasarkan pada ajaran Islam terutama Hadits. Beberapa adab dalam tradisi ini di antaranya adalah seseorang hanya boleh mengambil apa yang ada di hadapannya setelah mendahulukan orang yang lebih tua mengambilnya.[1][6]

Ketika makan, nasi diambil sesuap saja dengan tangan kanan. Setelah ditambah sedikit lauk pauk, nasi dimasukkan ke mulut dengan cara dilempar dalam jarak yang dekat.[11] Ketika tangan kanan menyuap nasi, tangan kiri telah ada di bawahnya untuk menghindari kemungkinan tercecernya nasi. Jika ada nasi yang tercecer di tangan kiri, harus dipindahkan ke tangan kanan lalu dimasukkan ke mulut dengan cara yang sama. Tujuan makan dengan cara tersebut agar nasi yang hendak masuk ke mulut bila tercecer tidak jatuh ke piring, sehingga yang lain tidak merasa jijik untuk memakan nasi yang ada dalam piring secara bersama-sama. Selain itu, posisi duduk juga harus tegap atau tidak membungkuk dengan cara bersimpuh (basimpuah) bagi perempuan dan bersila (baselo) bagi laki-laki. Kemudian setelah selesai, tidak ada lagi nasi yang tersisa di piring, dan makanan yang disediakan wajib dihabiskan.[3]

Catatan kaki

Referensi