Kemerajaan dan kerajaan Allah

konsep agamawi tentang Allah mengambil kembali kekuasaan mengatur jagat raya dan sejarah

Konsep kemerajaan Allah dapat dijumpai di dalam semua agama ibrahimi, dan dalam beberapa kasus dapat pula dijumpai pemakaian istilah kerajaan Allah dan kerajaan Surga. Gagasan kemerajaan Allah bersumber dari Alkitab Ibrani yang memuat perkataan "kerajaan-Nya" meskipun tidak memuat istilah "Kerajaan Allah".[1][2]

Kaca patri karya Reginald Hallward, menampilkan nas Matius 5:3, "diberkatilah orang yang miskin dalam roh sebab mereka yang mempunyai Kerajaan Surga".

Istilah "Kerajaan Allah" maupun "Kerajaan Surga", padanannya di dalam Injil Matius, merupakan salah satu unsur utama ajaran Yesus di dalam Perjanjian Baru. Injil Markus mengindikasikan bahwa injil adalah kabar baik tentang Kerajaan Allah. Istilah tersebut tidak dapat dipisahkan dari kemerajaan Kristus atas segala makhluk. Kerajaan "surga" muncul di dalam Injil Matius terutama lantaran keengganan orang Yahudi untuk melisankan "nama" (Allah). Yesus tidak mengajarkan perihal Kerajaan Allah per se sebanyak mengajarkan perihal kedatangan kembali kerajaan tersebut. Gagasan tentang kedatangan kembali kerajaan Allah (seperti pada zaman Musa) sudah menjadi gagasan bernada menghasut di "Kanaan", kawasan Israel-Palestina-Libanon sekarang ini, 60 tahun sebelum Yesus lahir, dan masih terus menggelorakan semangat sampai hampir seratus tahun lamanya sesudah Yesus wafat.[3] Dengan mengacu kepada ajaran Perjanjian Lama, penyifatan hubungan Allah dengan manusia di dalam ajaran agama Kristen pada hakikatnya melibatkan gagasan "Kemerajaan Allah".[4][5]

Al-Qur'an tidak memuat istilah "kerajaan Allah", tetapi memuat ayat Kursi yang mengatakan bahwa singgasana Allah meliputi langit dan bumi. Al-Qur'an menyebutkan pula bahwa Nabi Ibrahim diperlihatkan "kerajaan langit" dan bumi.[6] Pustaka-pustaka agama Baha'i juga memakai istilah "kerajaan Allah".[7]

Alkitab Ibrani

Istilah "kerajaan TUHAN" muncul dua kali di dalam Alkitab Ibrani, yaitu di dalam nas 1 Tawarikh 28:5 dan nas 2 Tawarikh 13:8. Selain itu, istilah "kerajaan-Nya" dan "kerajaan-Mu" kadang-kadang pula dipakai ketika mengacu kepada Allah.[2] Sebagai contoh, kalimat "ya TUHAN, punya-Mulah kerajaan" digunakan di dalam nas 1 Tawarikh 29:10–12 dan kalimat "kerajaan-Nya adalah kerajaan yang kekal" digunakan di dalam nas Daniel 3:33 (nas Daniel 4:3 menurut versi penomoran ayat Alkitab Kristen).[8] Ada pula nas-nas semisal Keluaran 19:6 yang menunjukkan betapa Israel, selaku umat pilihan Allah, dipandang sebagai sebuah kerajaan, mengingatkan orang kepada sejumlah tafsir Kristen yang mengartikan kerajaan Allah sebagai dunia Kristen.

"Kata Ibrani malkut [...] pertama-tama mengacu kepada suatu pemerintahan, kekuasaan, atau kepemimpinan tertinggi, dan yang kedua mengacu kepada wilayah tempat pemerintahan dijalankan. [...] Bilamana dipakai untuk menyifatkan Allah, kata malkut hampir selalu mengacu kepada kewenangan-Nya selaku Raja samawi untuk meraja."[9]"Mazmur kenaikan takhta" (Mazmur 45, Mazmur 93, Mazmur 96, Mazmur 97–99) menyediakan suatu latar bagi pandangan semacam ini dengan maklumat "TUHAN adalah Raja".[5]

Baik nas 1 Raja–Raja 22:19, Yesaya 6, Yehezkiel 1, maupun Daniel 7:9 berbicara tentang Takhta Allah, kendati beberapa filsuf semisal Rabi Sa'id bin Yusuf Ga'on dan Rabi Musa bin Maimun menafsirkan penyebutan "takhta" semacam itu sebagai kiasan.[10]

Kesusastraan periode antarperjanjian

Frasa Kerajaan Allah tidak lazim dijumpai di dalam kesusastraan antarperjanjian. Bilamana muncul, misalnya di dalam kumpulan Mazmur Salomo dan Kitab Kebijaksanaan Salomo, frasa tersebut biasanya mengacu kepada "pemerintahan Allah, bukan kepada wilayah yang diperintah-Nya, bukan pula kepada zaman baru, [bukan pula kepada ...] rezim Almasihi yang kelak akan dibentuk oleh Orang Yang Diurapi Tuhan".[11]

Meskipun demikian, adakalanya istilah ini berdenotasi "suatu peristiwa eskatologis", misalnya di dalam Kitab Musa Diangkat ke Surga dan Kitab Ucapan Ilahi Sibila. Di dalam kitab-kitab tersebut, "Kerajaan Allah bukanlah suatu zaman baru, melainkan manifestasi efektif pemerintahan Allah atas seluruh dunia sehingga terbentuklah rezim eskatologis."[12] Ada pula pandangan lain yang masih sejalan dengan pandanga-pandangan di atas tetapi lebih bersifat "nasional", yaitu pandangan yang meluhurkan tokoh Almasih terjanji sebagai tokoh pembebas dan tokoh pendiri negara Israel yang baru.[13]

Perjanjian Baru

Injil Lukas mengabadikan penggambaran Yesus tentang Kerajaan Allah, yaitu "Kerajaan Allah datang tanpa tanda-tanda lahiriah;[14] juga orang tidak dapat mengatakan: Lihat, ia ada di sini atau ia ada di sana! Sebab sesungguhnya Kerajaan Allah ada di antara kamu."[15]

Di dalam Injil-Injil Sinoptis, Yesus kerap bertutur tentang Kerajaan Allah. Meskipun demikian, di dalam Perjanjian Baru, tidak ada satu nas pun yang meriwayatkan bahwa Yesus pernah mendefinisikan konsep tersebut secara jelas.[16] Di dalam nas-nas Injil Sinoptis, tampaknya sudah diasumsikan bahwa "konsep ini adalah konsep yang sudah tidak asing lagi sehingga tidak perlu didefinisikan."[16]Karen Wenell mengemukakan di dalam tulisannya bahwa "Injil Markus menyediakan bagi kita tempat yang signifikan untuk bertransformasi bagi ruang lingkup Kerajaan Allah, justru tempat tersebut dapat dipahami sebagai semacam tempat lahirnya Kerajaan Allah, yakni awal mula pendiriannya ...".[17]

Bab 3 Injil Yohanes mengetengahkan ihwal Kerajaan Allah di dalam percakapan Yesus dengan Nikodemus.[18] Teks Constantin von Tischendorf tampil beda sendiri karena menggunakan frasa "kerajaan surga" di dalam nas Yohanes 3:5, berdasarkan bukti yang disifatkan Heinrich Meyer sebagai bukti yang "purba tetapi tidak memadai".[19]

Di dalam Injil Gnostik Tomas yang non-kanonik tetapi sezaman dengan Injil-Injil kanonik, Yesus diriwayatkan berucap, "Jikalau orang-orang yang menuntun kamu berkata kepada kamu: ‘Lihat, kerajaan itu ada di angkasa!’ niscaya burung-burung di angkasa akan mendahului kamu. Jikalau mereka berkata kepada kamu: ‘kerajaan itu ada di laut,’ niscaya ikan-ikan akan mendahului kamu. Akan tetapi kerajaan itu ada di dalam kamu dan di luar kamu. Apabila kamu mengenal diri sendiri, kamu akan dikenal orang, dan kamu akan sadar bahwa kamu adalah anak-anak Bapa yang hidup."[20] Injil Tomas selanjutnya meriwayatkan betapa Yesus mengisyaratkan bahwa Kerajaan Allah sudah hadir, dengan berkata, "Kerajaan Bapa tersebar luas di muka bumi, tetapi orang-orang tidak melihatnya.”[20]

Di dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Rasul Paulus menyifatkan Kerajaan Allah dengan kalimat "Karena Kerajaan Allah bukanlah tentang makanan dan minuman, melainkan tentang kebenaran, damai sejahtera, dan sukacita dalam Roh Kudus."[21]

Kerajaan Allah (atau Kerajaan Sorga, yang mungkin sekali merupakan padanannya di dalam Injil Matius) adalah salah satu unsur utama ajaran Yesus di dalam Perjanjian Baru.[3] Dengan berpatokan kepada ajaran Perjanjian Lama, penyifatan hubungan Allah dengan manusia di dalam agama Kristen tidak dapat dilepaskan dari gagasan "Kemerajaan Allah".[4][5]

Sebagian besar pemakaian kata Yunani basileya (kerajaan) di dalam Perjanjian Baru terkait dengan Kerajaan Allah (atau Kerajaan Surga).[22] Matius agaknya menggunakan istilah "surga" lantaran ajaran agama Yahudi yang melatarbelakangi sidang pembacanya mewajibkan pembatasan terhadap penyebutan Nama Allah.[23] Meskipun demikian, Doktor Chuck Missler berpendapat bahwa Matius memang sengaja membedakan kerajaan surga dari kerajaan Allah. Ia mengemukakan bahwa "kebanyakan pengulas mengandaikan bahwa istilah-istilah tersebut bersinonim. Kendati demikian, Matius menggunakan frasa Kerajaan Surga sebanyak 33 kali, tetapi juga menggunakan frasa Kerajaan Allah sebanyak lima kali, malah menggunakannya di dalam ayat-ayat yang berdekatan, yang mengisyaratkan bahwa kedua istilah tersebut tidak sinonim: ia menggunakan istilah yang lebih denotatif."[24] Kerajaan Allah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi Regnum Dei, sementara Kerajaan Surga diterjemahkan menjadi Regnum caelorum.[25]

Agama Kristen

Allah Bapa bersemayam di atas singgasana, Westfalen, Jerman, akhir abad ke-15

Pernyataan "Allah hakim sarwa sekalian alam" di dalam Perjanjian Lama dan gagasan bahwa segenap umat manusia pada akhirnya akan dihakimi yang juga terkandung di dalam Perjanjian Lama, merupakan salah satu unsur asasi ajaran agama Kristen.[26] Syahadat Nikea, yang berasaskan beberapa nas Perjanjian Lama, menunjukkan bahwa tugas untuk menghakimi dilimpahkan kepada Yesus.[26][27]

Belum ada mufakat yang menyeluruh mengenai tafsir teologis dari "Kerajaan Allah" di kalangan sarjana. Meskipun sejumlah tafsir teologis dari istilah Kerajaan Allah sudah diketengahkan di dalam konteks eskatologisnya, misalnya eskatologi apokaliptis, eskatologi terealisasi, maupun eskatologi terinagurasi, belum ada konsensus di kalangan para sarjana.[28][29]

R. T. France menunjukkan bahwa meskipun konsep "Kerajaan Allah" memiliki makna yang intuitif di kalangan umat Kristen awam, nyaris tidak ada kata mufakat di kalangan sarjana mengenai maknanya di dalam Perjanjian Baru.[30] Beberapa sarjana mengartikannya sebagai gaya hidup Kristen, beberapa lagi mengartikannya sebagai metode pewartaan Injil ke seluruh dunia, dan beberapa lagi mengartikannya sebagai penemuan kembali karunia-karunia karismatik, sementara sarjana-sarjana lain mengaitkannya bukan dengan keadaan kini maupun nanti, melainkan dengan dunia yang akan datang.[30] R. T. France mengemukakan bahwa frasa Kerajaan Allah acap kali ditafsirkan dengan beragam cara supaya cocok dengan agenda teologis mufasirnya.[30]

Di dalam Perjanjian Baru, Takhta Allah dikilatkan dalam beberapa bentuk,[31] antara lain Surga sebagai Takhta Allah, Takhta Daud, Takhta Kemuliaan, Takhta Kerahiman, dan banyak lagi yang lain.[31] Perjanjian Baru melanggengkan fikrah Yahudi yang mengidentifikasi Surga itu sendiri sebagai "takhta Allah",[32] tetapi juga menyifatkan lokasi takhta Allah itu berada "di surga", dan menambahkan suatu takhta kedua yang lebih rendah di sebelah kanan Allah sebagai tempat Kristus bersemayam.[33]

Agama Islam

Istilah "kerajaan Allah" tidak muncul di dalam Al-Qur-an. Kata Arab modern untuk kerajaan adalah mamlaka (المملكة), tetapi kata yang dipakai di dalam Al-Qur'an adalah mul'kan (مُّلْكًا), mengacu kepada surga, misalnya di dalam Al-Qur'an 4:54, "ataukah mereka dengki kepada manusia karena karunia yang telah dianugerahkan Allah kepadanya? Sungguh, Kami telah menganugerahkan kitab dan hikmah kepada keluarga Ibrahim dan Kami telah menganugerahkan kerajaan (kekuasaan) yang sangat besar kepada mereka", dan di dalam Al-Qur'an 6:75, "Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi."[6] Varian Ma'lik (empunya), yang secara etimologis mirip dengan kata Malik (raja), muncul di dalam Al-Qur'an 1:4, "Pemilik hari pembalasan".[34]

Agama Baha'i

Istilah "kerajaan Allah" muncul di dalam risalah-risalah agama Baha'i, termasuk di dalam risalah-risalah Baha'ullah, pengasas agama Baháʼí, dan risalah-risalah anaknya, Abdul Baha.[7][35][36][37] Di dalam ajaran agama Baha'i, kerajaan Allah dipahami sebagai keadaan diri pribadi maupun keadaan dunia. Baha'ullah menyatakan bahwa kitab-kitab suci pegangan agama-agama yang ada di dunia ini menubuatkan kedatangan seorang juru selamat yang akan mendatangkan suatu zaman kegemilangan bagi umat manusia, yaitu kerajaan kerajaan Allah di muka bumi. Baha'ullah mendaku sebagai juru selamat tersebut, dan menyatkaan bahwa ajaran-ajarannyalah yang akan mewujudnyatakan kerajaan Allah di muka bumi. Ia juga mengajarkan bahwa nubuat-nubuat terkait akhir zaman dan kedatangan kerajaan Allah pada hakikatnya bersifat simbolis serta mengacu kepada peningkatan dan pembaharuan rohani.[38] Agama Baha'i juga mengajarkan bahwa pada saat umat beribadat dan berbakti kepada kemanusiaan, mereka menjadi lebih dekat kepada Allah dan berkembang secara rohani, sehingga dapat beroleh kehidupan kekal dan mesuk ke dalam kerajaan Allah selagi hayat masih dikandung badan.[39]

Baca juga

Rujukan

Pranala luar