Insiden pemberian kartu kuning kepada Joko Widodo

Pada 2 Februari 2018, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia Muhammad Zaadit Taqwa memberikan kartu kuning kepada Presiden Joko Widodo yang berpidato pada acara ulang tahun UI dan peresmian Forum Kebangsaan UI di Balairung UI Depok.

Gedung Balairung Universitas Indonesia.

Latar belakang

Joko Widodo.

Memperingati peringatan ulang tahun ke-68 Universitas Indonesia, Presiden Joko Widodo berpidato dalam acara dies natalis dan peresmian Forum Kebangsaan UI di Balairung UI Depok. Pada saat yang sama, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia Muhammad Zaadit Taqwa berdiri, meniup peluit ketika hadirin bertepuk tangan,[1] dan memberikan kartu kuning dari buku paduan suara ketika hadirin berhenti bertepuk tangan.[note 1][1][4] Karena demikian, Pasukan Pengamanan Presiden mendorong dan mengamankan Zaadit saat itu juga dan dimintai keterangan oleh satuan pengamanan lingkungan kampus dan polisi. Motivasi Zaadit untuk memberikan kartu kuning adalah kejadian luar biasa campak dan gizi buruk di Asmat, Papua,[note 2] usulan penjabat gubernur berasal dari perwira tinggi tentara dan polisi yang dianggap Zaadit menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI, dan rancangan aturan baru tentang Organisasi Mahasiswa (Ormawa) yang sedang disusun dari Draf Permenristekdikti.[4] Zaadit menyebut kartu kuning yang diberikannya merupakan bentuk peringatan atas berbagai masalah yang terjadi di Indonesia sejak 4 tahun pemerintahan Joko.[9] Zaadit juga menyebut sebelum melakukan tindakan memberi kartu kuning, BEM UI sebelumnya sempat mengadakan demonstrasi di luar balairung;[10] pada 2013, ratusan mahasiswa bersama pedagang menggelar demonstrasi menentang pembongkaran kios para pedagang di Stasiun Universitas Indonesia.[11] Dalam wawancara dengan Beritagar, Zaadit menuturkan bahwa ide memberikan kartu kuning berasal dari teman-temannya sesama anggota BEM UI. Ide tersebut didukung oleh BEM UI dan FMIPA UI tempat Zaadit menimba ilmu.[12]

Usulan penjabat gubernur dari kalangan polisi

Tjahjo Kumolo

Pada 25 Januari 2018, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengusulkan dua jenderal polisi yaitu Mochamad Iriawan dan Martuani Sormin sebagai penjabat gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara. Kedua jenderal polisi ini diusulkan menjadi penjabat gubernur di dua provinsi tersebut karena Tjahjo menganggap Jawa Barat dan Sumatera Utara sebagai daerah rawan konflik pada Pemilu 2018.[13] Tjahjo menggunakan Pasal 110 Ayat 10 UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan Permendagri No. 1 Tahun 2018 sebagai dasar dari usulannya.[14]

Usulan ini mendapat tanggapan yang beragam dari pelbagai pihak. Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan bahwa ia tidak menginginkan perwira aktif Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi penjabat gubernur seperti halnya dua jenderal polisi yang ditunjuk Tjahjo.[15] Panglima TNI Hadi Tjahjanto mengaku akan tetap berpegang kepada UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI yang mengharuskan TNI harus netral secara politik dan melarang prajurit terlibat dalam kegiatan politik praktis jika anggota TNI diusulkan menjadi penjabat gubernur.[16] Sekretaris Fraksi Partai Demokrat Dewan Perwakilan Rakyat Didik Mukrianto mendesak Tito dan Tjahjo mengevaluasi usulan ini karena dinilainya sangat berpotensi mengganggu demokrasi yang bersih dan adil sekaligus membuat aparat menjadi tidak netral dalam mengawal dan menjaga pemilu.[17] Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (DPP) PDIP Ahmad Basarah menilai usulan Tjahjo tidak menyalahi peraturan.[18]

Rencana penerbitan Peraturan Menteri tentang Organisasi Mahasiswa

Mohamad Nasir

Pada awal Desember 2017, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir berencana menerbitkan Peraturan Menteri tentang Organisasi Mahasiswa. Rencana tersebut tertuang dalam sebuah berkas 14 halaman Microsoft PowerPoint yang ditampilkan dalam acara Workshop dan Malam Penganugerahan Bidang Kemahasiswaan, Direktorat Kemahasiswaan, Ditjen Belmawa pada 6 Desember 2017 di Jakarta oleh Arman Nefi. Dalam berkas tersebut, disebutkan bahwa peraturan yang berlaku saat itu yaitu Kepmendikbud Nomor 155/U/1998 Tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi sudah berusia hampir 20 tahun. Dalam pelaksanaannya, keputusan menteri tersebut tidak lagi dijadikan pedoman oleh mahasiswa dalam berorganisasi selama lebih dari sepuluh tahun terakhir dan juga beberapa pedoman dinilai tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh karenanya, Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi berencana untuk menerbitkan Peraturan Menteri tentang Organisasi Mahasiswa.[19] Kemenristekdikti kemudian mengundang 30 perwakilan BEM seluruh Indonesia untuk memberi masukan terhadap draf tersebut pada 14—15 Desember di Bekasi, Jawa Barat, tetapi semuanya menolak mentah-mentah.

Rencana ini lantas mendapat tanggapan negatif dari banyak pihak, termasuk mahasiswa. Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia menolak rencana ini karena dinilai mengancam kebebasan berorganisasi dan pemikiran kritis mahasiswa sehingga campur tangan dari penyelenggara kampus semakin besar.[20]

Berkaitan dengan insiden ini, Kemenristekdikti membatalkan Permenristekdikti tentang Organisasi Mahasiswa.[21]

Dampak

Media sosial

Menanggapi insiden ini, warganet menggunakan tagar #KartuKuningJokowi dan #KartuKuningUntukJokowi. Tempo melaporkan pada 3 Februari tagar #KartuKuningJokowi dicuit sebanyak 8.259 kali dan berdasarkan data yang dihimpun Spredfast sejak 2 hingga 4 Februari, sebanyak 30.000 tagar #KartuKuningJokowi dan 3.000 tagar #KartuKuningUntukJokowi digunakan dalam banyak status.[1][23] Karena insiden ini, Zaadit mendapat tanggapan yang beragam di media sosial. Salah satunya adalah dugaan hubungan tindakan Zaadit dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) lewat sebuah status Twiter yang diunggah dirinya pada Maret 2014. Zaadit mengklarifikasi bahwa akun tersebut benar miliknya, tetapi sempat ditutup dan nama akunnya diubah untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan dan status tersebut murni tidak lebih dari kelakar dengan temannya. Zaadit juga membantah bahwa dirinya adalah kader PKS dan tindakannya murni inisiatifnya sebagai mahasiswa.[24] Menanggapi kritikan ini, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nur Wahid menyebut semestinya warganet mengikuti sikap Joko saat dikritik Zaadit.[25]

Pemberian kartu merah

Sejumlah pihak menilai tindakan yang dilakukan Zaadit belum cukup dan memandang Joko pantas mendapat kartu merah. Di Musyawarah Nasional Keluarga Alumni Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fahri Hamzah menyebut ia memiliki kartu merah dan memberi kartu merah kepada Joko sesambil menyebut tindakan Zaadit merupakan komando untuk mengingatkan pemerintah.[26] Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fadli Zon menyindir pemerintahan Joko Widodo lewat statusnya di akun Twitter pribadinya.[27] Sembari memuji tindakan Zaadit, Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional Amien Rais menyatakan Joko pantas diganjar kartu merah karena dinilai gagal menyejahterakan masyarakat Indonesia selama pemerintahan Joko. Amien mencontohkan proyek pembangunan Meikarta dan reklamasi Teluk Jakarta yang bermasalah dengan sejumlah aturan.[28] Namun, Djayadi Hanan dari Saiful Mujani Research and Consulting mengatakan pemerintahan Joko mendapat rapor biru karena tingginya tingkat kepuasan publik akan kinerja pemerintah yaitu sekitar 70%. Tingkat kepuasan publik dilihat dari keadaan politik yang stabil, keadaan keamanan yang sangat stabil, keadaan penegakan hukum yang positif, program bidang infrastruktur yang berjalan, program pendidikan yang baik, dan program kesehatan yang baik, walaupun terdapat masalah kesehatan di Asmat. Walaupun demikian, Djayadi menekankan aspek pertumbuhan ekonomi yang masih belum mencapai target seperti yang dijanjikan Joko dalam kampanye pemilihan presiden 2014 dan keluhan masyarakat akan harga bahan pokok, pengangguran, dan kemiskinan. Secara keseluruhan, dalam skala penilaian sepuluh maka nilai rapornya berkisar antara 6-7.[29]

Lawatan ke Asmat

Menanggapi tindakan Zaadit, Presiden Jokowi berencana mengirim Zaadit dan anggota BEM UI ke Asmat untuk melihat-lihat keadaan di sana.[30] Zaadit dalam wawancara dengan Tirto menyebut jika benar itu rencana Pak Jokowi, maka Zaadit menolak rencana tersebut. Zaadit menyebut bahwa uang keberangkatan tersebut lebih baik dialihkan untuk memberangkatkan para ahli yang lebih bisa memberikan solusi langsung.[31] Sebagai gantinya, Zaadit menggunakan uang milik pribadi untuk melawat ke Asmat.[32] Namun, menurut Koordinator Bidang Sosial Politik BEM UI Averous membantah Zaadit tidak bersedia melawat ke Asmat. Menurutnya Zaadit bukan berarti tidak berminat melawat ke sana karena memang sudah mendapat pembagian tugas kepada masing-masing anggota.[33]

Dalam lawatan anggota BEM UI, sebanyak 8 mahasiswa yang tergabung dalam 2 tim diberangkatkan ke Asmat untuk membantu warga yang mengalami gizi buruk dan penyakit campak. Tim pertama berangkat bersama relawan Aksi Cepat Tanggap pada 12 Februari dengan tujuan Distrik Siret.[34] Tim kedua yang berjumlah 23 orang berangkat bersama 19 anggota Satuan Tugas Kesehatan TNI yang terdiri dari dokter spesialis anak, kebidanan dan penyakit dalam, dokter umum serta paramedis pada 15 Februari dengan tujuan Distrik Fayet.[34][35] Menanggapi lawatan ini, Averous berpendapat lawatan ini masih merupakan penilaian awal. Averous membuka kemungkinan anggota BEM UI akan melawat lagi ke Asmat untuk kedua kalinya dan tidak menutup kemungkinan Zaadit Taqwa turut ikut serta.[33]

Penggalangan dana

Selepas insiden ini, Zaadit mengajak masyarakat untuk turut ikut serta dalam penggalangan dana bagi korban gizi buruk dan campak di Asmat lewat halaman ajakan berjudul "Anak dan Ibu Suku Asmat adalah Kita" di Kitabisa. Dana yang terkumpul nantinya akan disalurkan kepada para korban melalui lembaga kemanusiaan sebagai bentuk kesetiakawanan untuk rakyat Papua.[36] Dari penggalangan dana tersebut, terkumpul Rp241.279.269, hampir 5 kali lebih banyak dari sasaran awal yaitu Rp50.000.000.[37] Penggalangan dana ini ditutup pada 18 Februari.[34]

Tanggapan

Insiden ini mendapat banyak tanggapan dari sejumlah tokoh. Fahri Hamzah memuji tindakan Zaadit, dan menyebut "Zaadit adalah kita" lewat statusnya di akun Twitter pribadinya.[38] Juru Bicara Presiden Johan Budi menyatakan Joko tidak mempermasalahkan insiden pemberian kartu kuning yang baru saja terjadi,[39] tetapi insiden ini menyebabkan Joko batal bertemu dengan anggota BEM UI yang sudah direncanakan setelah acara;[3] Kepala Kajian dan Aksi Strategi BEM UI Alfian Tegar Prakasa membantah rencana pertemuan Joko dengan anggota BEM UI.[40] Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir menganggap tindakan pengamanan Zaadit oleh Pasukan Pengaman Presiden hanya kejadian biasa karena acara kenegaraan tidak boleh terganggu.[2] Fadli Zon membuat puisi berjudul "Sajak Peluit Kuning".[41] Menteri Keuangan Sri Mulyani menyindir tindakan Zaadit dengan menyebut mahasiswa UI yang hendak memberikan kartu kuning atau menggelar unjuk rasa harus sudah mengikuti kuliah pengantar teori ekonomi makro.[42] Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan menyindir tindakan Zaadit Taqwa dengan mengatakan sebelum bertindak seharusnya melihat-lihat keadaan terlebih dahulu.[43] Dalam wawancara dengan Tirto, Ketua BEM Universitas Gadjah Mada Obed Kresna Widyapratista menganggap wajar tindakan Zaadit yang merupakan wujud dari sikap kritis Zaadit.[44]

Mata Najwa mengangkat insiden ini menjadi tema utama diskusi bertajuk "Kartu Kuning Jokowi" yang ditayangkan pada 7 Februari 2018. Diskusi ini turut melibatkan sejumlah ketua BEM dari Universitas Trisakti (Gafar Revindo), Institut Teknologi Bandung (Ardhi Rasy Wardhana), Institut Pertanian Bogor (Qudsyi Ainul Fawaid), dan Universitas Gadjah Mada (Obed Kresna Widyapratista). Politisi yang terlibat dalam diskusi ini adalah Adian Napitupulu dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Desmond Junaidi Mahesa dari Partai Gerakan Indonesia Raya, Ahmad Yohan dari Partai Amanat Nasional, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir. Sebuah jajak pendapat yang diselenggarakan oleh Detik juga diangkat dalam diskusi ini. Hasil jajak pendapat ialah 127 orang (62,56%) menilai tidak pantas, 39 orang (19,21%) menilai pantas, dan 37 orang (18,23%) menilai kreatif.[45]

Catatan

Referensi

Pranala luar