Distrik Negara

Kabupaten Hulu Sungai Selatan

Seorang Kiai Kepala Distrik Negara beserta isterinya pada tahun 1915.
Peta Zuid en Ooster Afdeeling van Borneo, Distrik Negara no. VIII
Wilayah Distrik Negara (warna biru) yang sekarang terbagi menjadi tiga kecamatan Daha Utara, Daha Barat, dan Daha Selatan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Sebuah masjid di Negara pada zaman Belanda.
Anak-anak di Negara.
Pasar di Negara.

Distrik Negara atau Nagara Daha[1] adalah bekas distrik (kedemangan) yang merupakan bagian dari wilayah administratif Onderafdeeling Amandit dan Negara pada zaman kolonial Hindia Belanda dahulu. Distrik Negara merupakan salah satu daerah Kesultanan Banjar yang terletak di sekitar pertengahan Daerah Aliran sungai Negara.[2]

TahunDistrictshoofdPanghoeloe
1861Kiai Ngabehi Djaksa Nagara[1]-
1862Kiai Sech[3][4]Hadji Djidin
1863Kiai Soeta Samie[5][6]1. Hadji Djahidin[5]

2. Hadji Abdul Hasan[6]

1870Kjahi Hadji Sahaboe'd-din[7][8]Hadji Abdoe'l-hasan[7][8]
1899Kiai Osman[9]
  • 1898: Kiai Djaja Kesoema Negara[10]
  • 1906 : Anang Besar bin Anang Ketjil Mantri Negara[11]

Dewasa ini wilayah distrik ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Suku Banjar yang mendiami wilayah bekas distrik ini disebut Orang Nagara atau puak Nagara Daha. Di wilayah Negara ini semuanya merupakan perkampungan suku Banjar dan tidak terdapat perkampungan suku Dayak.

Sejarah

Kerajaan Negara Daha

Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin, wilayah distrik ini dahulu merupakan pusat pemerintahan keraton Kerajaan Negara Daha setelah dipindah dari Amuntai (Kerajaan Negara Dipa/Kuripan).

Raja-raja Negara Daha pada abad ke-15:[12]

  1. Raden Sakar Sungsang/Raden Sari Kaburungan/Ki Mas Lalana bergelar Maharaja Sari Kaburungan[13] atau Panji Agung Rama Nata putera dari Putri Kalungsu/Putri Kabu Waringin, ratu terakhir Negara Dipa.
  2. Raden Sukarama bergelar Maharaja Sukarama, kakek dari Sultan Suriansyah (Sultan Banjar I).[13][14]
  3. Raden Paksa bergelar Pangeran Mangkubumi, kemudian bergelar Maharaja Mangkubumi.[13]
  4. Raden Panjang bergelar Pangeran Tumenggung.[13]

Pada awal abad ke-16, dari Negara Daha, keraton kemudian dipindah ke Banjarmasin dengan nama Kesultanan Banjarmasin karena Urang Nagara mengalami kekalahan. Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin, sebanyak 40 Urang Nagara telah tertawan dan diberikan kepada pasukan Demak sebagai ganti tentara Demak yang gugur dalam peperangan pada tahun 1526 tersebut. Urang Nagara tersebut kemudian menetap di Demak dan desa Tadunan.[13] Pada waktu inilah kali pertama Urang Nagara migrasi keluar Tanah Banjar. Pada waktu Hikayat Banjar ditulis belum dikenal adanya sebutan bangsa atau suku Banjar, tetapi masih disebut dengan nama asal kampungnya masing-masing. Jika berziarah ke kompleks pemakaman Sultan Demak Raden Patah yang terletak di samping Masjid Agung Demak, maka juri kunci masih dapat menunjukkan makam orang-orang asal Kalimantan yang dimakamkan di sana.

Menurut Hikayat Lambung Mangkurat yang disebut juga Hikayat Banjar versi II, ketika keraton telah dipindah ke Banjarmasin oleh Sultan Suriansyah, maka Urang Nagara yang mengalami kekalahan dalam perang tersebut dilarang memegang jabatan dalam pemerintahan kesultanan dan gelar kebangsawanan mereka diturunkan menjadi gelar bangsawan yang levelnya setingkat lebih rendah yaitu Andin dibanding gelar Gusti bagi keturunan Sultan Suriansyah. Bangsawan Nagara Daha inilah yang menjadi nenek moyang andin-andin di daerah Danau Salak, Alai Ulu dan kawasan Barito.

Perang Banjar-Negara Daha menyebabkan pengungsian penduduk Negara Daha ke Batang Alai dan Amandit. Sebagian yang tertangkap dibawa ke Banjarmasin dan dikirim ke Demak dan Tedunan dan sebagian lagi ada pula yang melarikan diri ke daerah Barito. Pada tahun 1526 Raja Demak yang diduga adalah Trenggana alias Tung Ka lo[15][16] telah megirimkan seribu pasukan untuk membantu Pangeran Samudera untuk berperang melawan pamannya Pangeran Tumenggung penguasa Kerajaan Negara Daha terakhir. Kemenangan diraih oleh Pangeran Samudera sebagai Sultan Banjarmasin I, sedangkan Pangeran Tumenggung diizinkan menetap di pedalaman yaitu daerah Alai dengan seribu penduduk.[13]

Hikayat Banjar dan Kotawaringin menyebutkan:[13]

Hikayat Banjar dan Kotawaringin menyebutkan:[13]

Hikayat Banjar dan Kotawaringin menyebutkan pula:[13]

Setelah ditaklukan Kesultanan Banjar, daerah ini disebut Lalawangan Nagara pernah dipimpin oleh Kepala Lalawangan, diantaranya yaitu

  1. Pangeran Suria Negara (1680). Dia adik Sultan Suria Angsa dari Banjar[17]
  2. Raja atau Sultan Negara(1680) berkedudukan di Kota Martapura.[18]
  3. Pangeran dari Negara: Pangarang Purba Negarree (1713) berkedudukan di Kota Negara (Daha). Dia adik Sultan Tahmidullah 1 (1713)[19][20][21][22]
  4. Raden Jayanegara (1745). Dia adik ipar Panembahan Kusuma Dilaga.[23]
  5. Pangeran Mas Dipati (1751). Dia sepupu Sultan Sepuh.[24]

Referensi