Deklarasi Bersama Paus Fransiskus dan Patriark Kirill

Deklarasi Bersama Paus Fransiskus dan Patriark Kirill, dikenal juga dengan nama Deklarasi Havana, dikeluarkan setelah pertemuan pertama antara Paus Fransiskus, yang sebagai Uskup Gereja Roma adalah Paus Gereja Katolik, dan Patriark Kirill dari Moskwa, primat Gereja Ortodoks Rusia (GOR)—salah satu bagian dari Gereja Ortodoks Timur—pada bulan Februari 2016. Peristiwa tersebut merupakan pertama kalinya berlangsung pertemuan antara pemimpin Gereja Roma dengan pemimpin Patriarkat Moskwa. Pertemuan ini juga dipandang sebagai suatu momen simbolik dalam sejarah relasi antara Gereja Katolik dan gereja-gereja Ortodoks Timur sebagai satu kesatuan komunitas, yang terpecah pada Skisma Besar tahun 1054, berabad-abad sebelum Patriarkat Moskwa terbentuk; pertemuan ini sebelumnya diperkirakan tidak mengarah pada pemulihan hubungan secara langsung di antara keduanya.[1]

Patriarch Kirill
Pope Francis
Patriark Kirill (kiri) pada 2009, dan Paus Fransiskus (kanan) pada 2015.

Deklarasi yang berisikan 30 poin ini berisi suatu seruan bersama oleh kedua primat gereja demi berakhirnya penganiayaan terhadap umat Kristen di Timur Tengah serta peperangan di wilayah tersebut. Deklarasi ini juga mengekspresikan harapan-harapan mereka bahwa pertemuan yang mereka laksanakan dapat berkontribusi terhadap kembalinya persatuan Kristen secara penuh (lih. komuni penuh) antara kedua gereja. Serangkaian masalah lainnya disebutkan dalam deklarasi tersebut, yakni ateisme, sekularisme, konsumerisme, migran dan pengungsi, arti penting pernikahan dan keluarga, serta keprihatinan seputar aborsi dan eutanasia.[2]

Menurut pernyataan publik dari kepemimpinan GOR yang dibuat sebelum dan setelah berlangsungnya pertemuan Havana, dokumen ini menekankan bahwa kedua gereja berbagi Tradisi dari milenium pertama Kekristenan, sementara diskusi selama pertemuan tersebut tidak bertujuan memperbaiki perbedaan-perbedaan doktrinal dan gerejawi di antara kedua gereja.[3][4][5][6] Meskipun demikian deklarasi ini berisikan suatu pernyataan kompromi mengenai uniatisme, sejalan dengan deklarasi Balamand,[7] serta konflik di Ukraina. Gereja Katolik-Yunani Ukraina mengungkapkan kekecewaan dan Gereja Ortodoks Ukraina dari Patriarkat Kiev mengkritik isu yang terakhir disebutkan ini.[8][9][10]

Latar belakang

Skisma Besar pada tahun 1054 membagi Kekristenan antara Timur Yunani dan Barat Latin, yaitu antara Gereja Katolik Roma yang dipimpin oleh Paus di Roma, dan Gereja Ortodoks Timur yang dipimpin oleh Patriark Konstantinopel.[11] Berbagai upaya telah dilakukan sepanjang berabad-abad kemudian untuk menyembuhkan keretakan tersebut, seperti Konsili Lyon Kedua pada tahun 1274 dan Konsili Florence pada tahun 1439, namun semua ini mengalami kegagalan. Upaya-upaya terbaru untuk mendekatkan hubungan antara kedua gereja meliputi Deklarasi Bersama Katolik-Ortodoks tahun 1965 setelah pertemuan pada tahun 1964 antara Paus Paulus VI dan Patriark Ekumenis Athenagoras I dari Konstantinopel di Yerusalem.[12] Setelah pertemuan dan deklarasi tersebut, sejumlah pertemuan, kunjungan dan acara simbolik telah diadakan dengan melibatkan para pemimpin Katolik dan Ortodoks (yang meliputi kunjungan-kunjungan yang dilakukan oleh Paus Yohanes Paulus II, juga secara khusus antara beberapa paus dan Bartolomeus I dari Konstantinopel), namun belum pernah ada pertemuan antara seorang paus dan seorang pemimpin Gereja Ortodoks Rusia.[12] Pertama kali seorang paus mengunjungi sebuah negara mayoritas Ortodoks Timur adalah pada tahun 1999 ketika Paus Yohanes Paulus II mengunjungi Rumania.[13] Sejak tahun 1980, Komisi Internasional Bersama untuk Dialog Teologis antara Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks (yang terakhir disebutkan dipimpin oleh Gereja Konstantinopel) telah menyelenggarakan berbagai sesi pleno reguler.

Paus Fransiskus dan Patriark Bartolomeus di Gereja Makam Kudus di Yerusalem pada tahun 2014.

Dalam persekutuan gereja-gereja lokal (nasional) otosefalus (independen secara administratif) di Ortodoksi, Patriark Ekumenis Konstantinopel—berbasis di kota yang sekarang menjadi Istanbul—diakui sebagai uskup dengan status primus inter pares, kendati tidak memiliki kekuasaan adminstratif secara langsung atas gereja Ortodoks Lainnya.[12] Gereja Ortodoks Rusia (Patriarkat Moskwa/Moskow) yang mendapatkan status otosefalus mendekati akhir abad ke-16 dianggap sebagai denominasi terbesar di antara gereja-gereja Ortodoks lokal; gereja ini memiliki hubungan dekat dengan negara Rusia, karenanya memiliki suatu makna geopolitik dalam suatu pertemuan antara Patriarknya dengan seorang paus. Sifat Ortodoksi yang desentralistik berarti bahwa pertemuan semacam ini tidak dapat memiliki makna secara langsung terhadap isu-isu pan-Ortodoks. Dua minggu sebelumnya para pemimpin gereja Ortodoks, termasuk Patriark Kirill, telah bertemu di Chambésy, Swiss, untuk membuat persiapan-persiapan akhir menjelang Konsili Pan–Orthodox yang dijadwalkan ulang ke bulan Juni 2016.[14]

Menurut GOR, dialog bilateral dengan Gereja Katolik dimulai pada tahun 1967 dan GOR memulai dialog teologis degan Gereja Katolik pada tahun 1979.[15] Sebelumnya telah ada berbagai upaya untuk mengatur suatu pertemuan antara seorang paus dan seorang patriark Rusia, namun upaya-upaya ini gagal. Ketegangan meningkat antara kedua gereja setelah jatuhnya Komunisme ketika kedua gereja berupaya untuk memulihkan hubungan.[16] Berbagai negosiasi telah dilangsungkan pada tahun 1990-an demi suatu pertemuan yang memungkinkan antara Patriark Alexy II dari Moskwa dan Paus Yohanes Paulus II.[17] Menurut Biro Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Tenaga Kerja Amerika Serikat, kedua gereja membentuk sebuah kelompok kerja bersama yang bertemu pada bulan Mei dan September 2004 untuk membahas berbagai keprihatinan tertentu. Perwakilan kedua gereja melaporkan bahwa kelompok kerja tersebut berkontribusi terhadap suatu perbaikan suasana. Dalam suatu isyarat rekonsiliasi pada bulan Agustus 2004, Paus Yohanes Paulus II menyajikan sebuah salinan ikon Bunda Maria dari Kazan dari abad ke-18 kepada Patriark Alexy II.[18][a] Pada bulan April 2005, Paus Yohanes Paulus II wafat dan Kardinal Joseph Ratzinger terpilih sebagai Paus Benediktus XVI. Pada bulan yang sama, Uskup GOR Hilarion Alfeyev, sebagai ketua Perwakilan Gereja Ortodoks Rusia untuk Institusi-Institusi Eropa, mengusulkan "suatu Aliansi Katolik–Ortodoks Eropa".[22] Pada bulan Mei 2005, Kardinal Walter Kasper mengusulkan adanya "suatu sinode rekonsiliasi" dalam peringatan 1.000 tahun Konsili Bari pada tahun 2098, serta mengusulkan suatu aliansi dengan pihak Ortodoks dan Protestan untuk melawan sekularisme.[23][24] Aliansi tersebut akan "saling membantu satu sama lain demi mendukung nilai-nilai bersama, suatu budaya kehidupan, martabat pribadi, solidaritas dan keadilan sosial, perdamaian dan perlindungan ciptaan," kata Kardinal Kasper.[24] Pada bulan Mei 2005 Metropolit Kirill bertemu dengan Paus Benediktus XVI di Vatikan, dan mereka menegaskan komitmen mereka untuk bekerja sama secara kooperatif.[18][19]Kemungkinan adanya suatu pertemuan antara Patriark Kirill (setelah terpilih sebagai patriark pada tahun 2009) dengan Paus Benediktus XVI telah dijajaki sebelum pengunduran diri Paus Benediktus pada bulan Maret 2013; mereka bertemu di Roma pada tahun 2006 ketika Kirill menjabat sebagai ketua Departemen Hubungan Eksternal Gereja untuk Patriarkat Moskwa.[16][b]

Pertemuan di Havana

Lounge VIP Bandara Havana

Dua tahun perencanaan secara diam-diam dan berbulan-bulan negosiasi terperinci telah dilakukan untuk mengatur pertemuan antara Paus Fransiskus dan Patriark Kirill.[12][25] Sang paus telah menyatakan kesediaannya untuk bertemu sang patriark, katanya pada bulan November 2014: "Saya akan pergi kemana pun Anda inginkan. Anda hubungi saya dan saya akan pergi."[26] Persetujuan dari sisi Ortodoks Rusia dipandang rumit karena hubungan dekat gereja tersebut dengan negara Rusia dan ketegangan internasional akibat intervensi Rusia di Krimea dan Ukraina.[12] Pengumuman menjelang pertemuan dari pihak Patriarkat Moskwa menyatakan bahwa mereka telah sepakat untuk "mengesampingkan perbedaan-perbedaan pendapat internal" agar dapat berfokus pada keadaan umat Kristen yang mengalami penganiayaan.[12] Kuba, sebuah lokasi yang signifikan bagi kedua belah pihak, menyediakan persyaratan yang diperlukan demi sebuah tempat pertemuan netral karena baik Roma ataupun Moskwa dianggap bukan lokasi yang tepat.[1] Pertemuan ini, yang dimungkinkan oleh waktu kunjungan para pemimpin kedua belah pihak ke wilayah tersebut, diumumkan seminggu sebelumnya pada tanggal 5 Februari 2016.[12]

Pertemuan mereka berlangsung pada tanggal 12 Februari 2016 di sebuah ruang VIP di Bandar Udara Internasional José Martí dekat Havana, Kuba. Paus Fransiskus tiba pada pukul 2 siang waktu setempat, lalu kedua pemimpin saling memeluk dan mencium.[25] Suatu pertemuan tertutup selama 2 jam dilanjutkan dengan penandatanganan deklarasi bersama mereka, yang sebelumnya telah dipersiapkan. Patriark Kiril berada di Havana dalam rangka kunjungan resminya sebagai bagian dari kunjungannya di wilayah tersebut, termasuk kunjungan ke Brasil dan Paraguay. Pesawat Paus Fransiskus singgah di bandara tersebut sebelum kunjungannya ke Meksiko.[1]

Para pejabat Kuba yang menghadiri acara tersebut misalnya Presiden Raúl Castro, Kardinal Jaime Lucas Ortega y Alamino (Uskup Agung Keuskupan Agung Katolik Roma San Cristóbal de la Habana) dan Uskup Agung Dionisio García Ibáñez (dari Keuskupan Agung Katolik Roma Santiago de Cuba).[20] Pertemuan itu sendiri digelar di sebuah ruang tertutup, dihadiri para penerjemah dan asisten kedua pemimpin tersebut serta Kardinal Kurt Koch, Ketua Dewan Kepausan untuk Memajukan Persatuan Kristiani, dan Metropolit Hilarion Alfeyev, Ketua Departemen Hubungan Eksternal Gereja untuk Patriarkat Moskwa.[20]

Pada akhir pertemuan ada tukar-menukar hadiah.[27] Paus Fransiskus memberikan Patriak Kirill sebuah cawan serta sebuah relikuari (tempat penyimpanan relikui) dari Santo Kirilos (turunan nama dari bahasa Yunani; atau "Sirilus", turunannya dari bahasa Latin; atau "Kirill" dalam bahasa Rusia) yang hidup pada abad ke-9 dan dimakamkan di Roma. Patriark Kirill memberikan Paus Fransiskus sebuah salinan ikon Bunda Maria dari Kazan.[a] Hadiah lain yang dipertukarkan adalah Kebebasan dan Tanggung Jawab, sebuah buku karya Patriark Kirill, dalam terjemahan berbahasa Spanyol dan ensiklik Paus Fransiskus Laudato si' (2015) dalam terjemahan berbahasa Rusia.[27]

Beberapa hari setelah pertemuan Havana, Patriark Kirill mengatakan kepada media berita bahwa—untuk menjawab alasan akan adanya "kekuatan besar" yang menentang pertemuan tersebut (terlepas dari umat Ortodoks yang merasa takut)—pertemuan Havana dipersiapkan dengan kerahasiaan yang ketat; ia juga menekankan bahwa tidak ada satu pun pembahasan isu teologis.[28][29][30]

Deklarasi bersama

Deklarasi bersama ini dipublikasikan oleh Vatikan dalam bahasa Italia, Rusia, Inggris, Jerman, Prancis, Spanyol, Portugis, dan Arab.[2]Gereja Ortodoks Rusia mempublikasikannya dalam bahasa Rusia, Inggris, Italia, Prancis, Spanyol, dan Ukraina.[31]Deklarasi ini mencakup beragam topik yang termuat dalam 30 bagian bernomor.[2]

Bagian pertama Deklarasi Bersama menyatakan terima kasih atas pertemuan "yang pertama dalam sejarah" ini dan menyebut para pemimpinnya sebagai "saudara-saudara dalam iman Kristiani".[2] Bagian 2 dan 3 menyebut tempat pertemuan mereka di Kuba sebagai "persimpangan dari Utara dan Selatan, Timur dan Barat", serta mengungkapkan kegembiraan atas pertumbuhan Kekristenan di Amerika Latin.[2] Bagian 4-6 mengungkapkan pandangan mereka tentang tradisi spiritual bersama mereka ("milenium pertama Kekristenan") dan harapan mereka bahwa pertemuan mereka "dapat berkontribusi terhadap pembentukan kembali persatuan ini sebagaimana dikehendaki oleh Allah".[2]

Bagian 7–21 menyinggung "tantangan-tantangan dalam dunia masa kini".[2] Isu-isu yang diangkat termasuk penganiayaan terhadap orang Kristen di Timur Tengah dan Afrika Utara; dampak perang saudara, kekerasan teroris dan kekacauan; eksodus umat Kristen dari Suriah dan Irak; serta penderitaan yang dialami oleh umat dari tradisi keagamaan lain.[2] Deklarasi ini dilanjutkan dengan membahas pembaharuan iman Kristen di Rusia dan Eropa Timur serta "mematahkan rantai ateisme militan", kebangkitan sekularisme, konsumerisme, ketidaksetaraan, para migran dan pengungsi, juga posisi Kekristenan dalam proses integrasi Eropa.[2] Bagian-bagian selanjutnya menekankan pentingnya keluarga, ikatan perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan keprihatinan mereka terkait aborsi, eutanasia, dan "teknologi reproduksi biomedis".[2]

Isu-isu seputar skisma dalam komunitas Ortodoks di Ukraina dan situasi politik di Ukraina diangkat dalam bagian 25–27.

Bagian-bagian penutupnya menghimbau umat Katolik dan Ortodoks untuk "bekerja sama sebagai saudara dalam mewartakan Kabar Baik keselamatan" dan "memberikan kesaksian bersama akan Roh Kebenaran dalam masa-masa sulit".[2]

Deklarasi ini diakhiri dengan suatu doa dengan perantaraan Maria, yang disebut dengan nama "Perawan Maria yang Terberkati" (atau "Santa Perawan Maria") serta "Bunda Suci Allah".[2]

Komentar dan reaksi

Pertemuan ini ditanggapi oleh para komentator media berita, yang umumnya tidak mengetahui fakta-fakta penting terkait sejarah Kekristenan di Rusia dan cenderung mengarah pada sensasionalisme,[32][33][c] dengan penggunaan sebutan "bersejarah", "sangat simbolis",[25] dan "pertemuan milenium ini".[1][7] Para analis juga berpendapat bahwa pertemuan ini mencakup suatu dimensi geopolitik, persaingan di kalangan para pemimpin Ortodoks, ketegangan yang telah berlangsung lama di dalam Ortodoksi Ukraina, dan mengenai penegasan pengaruh Rusia oleh Presiden Rusia Vladimir Putin di panggung dunia yang dilatarbelakangi oleh tindakan-tindakannya di Suriah dan Ukraina.[11][25] Secara keseluruhan, pertemuan ini "diperkirakan tidak akan menyebabkan pemulihan hubungan seketika antara Gereja Timur dan Barat".[1]

Patriark Kirill menghadapi kritikan karena kebijakan-kebijakannya telah membawa Gereja Ortodoks Rusia menjadi lebih dekat dengan negara Rusia. Dalam pemilihan presiden Rusia pada tahun 2012 ia mendukung Vladimir Putin, menyamakan jabatan presiden Putin dengan "suatu keajaiban dari Allah".[35][36] Yury Avvakumov, asisten profesor teologi di Universitas Notre Dame, menggambarkan Patriarkat Moskwa sebagai "suatu instrumen kebijakan internasional Rusia [dan] suatu pemancar yang efektif di seluruh dunia dari kepentingan politik para penguasa Rusia."[26] Pandangan bahwa pertemuan ini digerakkan oleh politik internal Ortodoks diungkapkan oleh George Demacopoulos, ketua Ortodoks-Yunani dari kajian Kristen Ortodoks di Universitas Fordham di New York: "Hal ini bukanlah kebajikan. Bukan merupakan suatu hasrat yang baru untuk persatuan Kristen [...] Hampir seluruhnya mengenai pemosisian diri dan upaya (Patriark Kirill) untuk menampilkan dirinya sebagai pemimpin Ortodoksi."[11]

Pandangan serupa diungkapkan oleh Mgr. Borys Gudziak (Uskup Eparkial Katolik-Ukraina Paris), yang menyatakan bahwa "kedua protagonis dalam drama ini datang ke sana membawa warisan yang berbeda. Paus Fransiskus adalah pemimpin satu milyar umat Katolik dan merupakan otoritas moral yang paling dihormati di dunia. Patriark Kiril adalah kepala Gereja Ortodoks Rusia, yang masih tertatih-tatih akibat penganiayaan selama satu abad dan masih mencari suara moralnya dalam masyarakat Rusia pasca-Soviet."[37] Mgr. Gudziak juga menggarisbawahi ketegangan internal dalam Ortodoksi, dan bahwa suatu Gereja Ortodoks Ukraina yang independen akan sangat mengurangi pengaruh Gereja Ortodoks Rusia.[37][d] Ia mencontohkan ketegangan yang timbul dari konsili Pan-Ortodoks yang akan datang pada bulan Juni 2016, yang pertama diadakan selama berabad-abad.[37][e] Selain itu Patriark Kirill mungkin menghadapi perlawanan dari kelompok konservatif dalam Ortodoksi Rusia yang menentang upaya untuk mempererat hubungan dengan Gereja Katolik.[1]

Robert F. Taft, seorang imam Yesuit Amerika Serikat, menghargai pendekatan baru yang dilakukan oleh Paus Fransiskus untuk menciptakan kondisi-kondisi yang dibutuhkan demi pertemuan ini, katanya, "Rusia datang untuk memahami bahwa Gereja Katolik memandang mereka sebagai suatu gereja saudara, bukan sebagai orang yang terpisah dari satu-satunya Gereja yang sebenarnya."[17] New York Times menyatakan bahwa bagi Paus Fransiskus, "pertemuan ini merupakan suatu prestasi diplomatik dan ekumenis yang terluputkan dari para pendahulunya", tetapi ia dapat dikritik karena secara tidak langsung dianggap memberikan dukungan bagi intervensi militer Rusia di Suriah dan Ukraina.[25] Laporan Associated Pres menyatakan bahwa pertemuan ini "mengukuhkan reputasi Paus Fransiskus sebagai seorang negarawan pengambil risiko yang menghargai dialog, membangun jembatan dan pemulihan hubungan dengan hampir segala macam cara", tetapi menambahkan bahwa ia "juga telah berada di bawah kecaman karena pada dasarnya membiarkan dirinya dimanfaatkan oleh hasrat Rusia untuk menyatakan diri".[11] Ketika ditanya mengenai kemungkinan menjadi paus pertama yang mengunjungi Rusia dan Tiongkok, Paus Fransiskus menunjuk hatinya dan berkata: "Tiongkok dan Rusia, saya memiliki mereka di sini. Berdoa."[26]

Menurut The Economist, pertemuan ini merupakan suatu kemenangan diplomatik bagi pemerintah Rusia: "Pertemuan [paus] ini dengan rekan Rusianya menarik Paus Fransiskus jauh ke dalam geopolitik, dan mengarahkannya untuk membenarkan kebijakan luar negeri Rusia dan mengkritik Barat dengan cara-cara yang menimbulkan kemarahan beberapa pendukung gereja Katolik".[40]

Uskup Agung Mayor Sviatoslav Shevchuk dari Gereja Katolik-Yunani Ukraina mengatakan bahwa ia merasa kecewa dan jemaat gerejanya merasa "dikhianati oleh Vatikan" atas pernyataan dalam deklarasi ini mengenai Ukraina.[8] Meskipun demikian, Uskup Agung Mayor Shevchuk meminta "semua orang untuk tidak terburu-buru dalam menilai [Paus Fransiskus], agar tidak berada dalam tingkatan realitas mereka yang sekadar mengharapkan politik dari pertemuan ini dan ingin mengeksploitasi seorang paus yang rendah hati demi rencana duniawi mereka dengan segala cara. Jika kita tidak masuk ke dalam realitas spiritual Bapa Suci dan tidak menyelidiki (discern) karya Roh Kudus bersama-sama dengannya, kita akan tetap terpenjara oleh penguasa dunia ini dan para pengikutnya."[9] Uskup Agung Claudio Gugerotti, Nunsio Apostolik untuk Ukraina, meminta kesabaran jemaat Gereja Katolik-Yunani Ukraina dan mengindikasikan bahwa deklarasi ini merupakan suatu pernyataan kompromi.[41]

Gereja Ortodoks Ukraina dari Patriarkat Kiev juga mengkritik deklarasi ini; katanya deklarasi ini telah mengabaikan pendapat dan posisi dari Gereja Katolik-Yunani Ukraina.[10] Gereja tersebut juga memprotes kalau deklarasi ini tidak menyatakan bahwa Perang di Donbass merupakan suatu intervensi militer Rusia di Ukraina.[10] Dalam konferensi pers pada tanggal 18 Februari 2016, Paus Fransiskus menjelaskan bahwa pertanyaan-pertanyaan seperti siapa yang memulai "keadaan perang di Ukraina" adalah suatu "persoalan historis".[42]

Reaksi di dalam GOR

Menurut dokumen-dokumen resmi Gereja Ortodoks Rusia (GOR), tujuan terpenting Gereja Ortodoks dalam relasinya dengan komunitas-komunitas Kristiani non-Ortodoks adalah pemulihan kesatuan Kristiani sebagaimana diperintahkan Allah.[15](n. 2.1) Ketidakpedulian pada tugas ini atau penolakan atasnya adalah suatu dosa terhadap perintah Yesus untuk bersatu.[15](n. 2.2) Di antara tugas-tugas Sinode Kudus adalah untuk "mengevaluasi peristiwa-peristiwa besar lintas gereja, relasi antaragama dan lintas konfesional,"[43](ch. 5 art. 25 § h) "memelihara relasi antaragama dan lintas konfesional,"[43](ch. 5 art. 25 § i) "mengoordinasikan tindakan-tindakan" GOR "dalam upaya-upayanya untuk mencapai perdamaian dan keadilan,"[43](ch. 5 art. 25 § j) serta "mengungkapkan keprihatinal pastoral atas masalah-masalah sosial."[43](ch. 5 art. 25 § k)

Namun demikian, beberapa umat GOR mempertanyakan ortodoksi pertemuan Paus Fransiskus–Patriark Kirill dan persiapan GOR untuk Konsili Pan-Ortodoks tahun 2016.[44][45][f] Terdapat beberapa "nasionalis religius" di Belarus, Moldova, dan Federasi Rusia yang telah "terstimulus ke dalam tindakan" karena pertemuan Paus Fransiskus–Patriark Kirill serta "beberapa biara dan klerus konservatif telah bereaksi atas" pertemuan dan deklarasi bersama ini "dengan menghentikan doa-doa publik mereka untuk Patriark Kirill."[47][g] Patriark Kirill telah mereformasi administrasi GOR dan mengonsolidasikan otoritas dalam patriarkat GOR.[44] Menurut Sergei Chapnin, ia "tidak memiliki seteru-seteru yang kentara di dalam keuskupan" tetapi beberapa "figur marginal" dalam kalangan klerus adalah seteru-seteru.[44] Beberapa imam GOR mengkritik Patriark Kirill dan menyebut tindakan-tindakannya sesat.[45][diskusikan] Sebagai contoh, Imam Agung Vladislav Emelyanov mengatakan bahwa pertemuan Paus Fransiskus–Patriark Kirill "membangkitkan suatu perasaan dikhianati" dan bahwa Patriark Kirill merusak konsiliaritas dalam GOR dengan pertama-tama menggantikan sinode uskup setempat dan sekarang tidak berkonsultasi dengan sesama uskup dalam suatu hal serius. Menurut Emelyanov, hal ini "jelas Papisme". Eparki Irkutsk menyebut pernyataan Emelyanov "berbahaya dan tidak masuk akal".[45] Pastor Alexei Morozov mengatakan bahwa GOR berada di ambang suatu perpecahan dan ia menyarankan jemaat GOR untuk menyatakan ketidaksetujuandengan dua cara: menghadiri "bait-bait [suci], tempat para imam mematuhi secara ketat ajaran-ajaran Kekristenan serta tidak menerima ekumenisme dan kepausan sesat" dan meminta Patriarkat Moskwa agar menyelenggarakan Konsili Lokal Gereja Ortodoks Rusia untuk mengutuk apa yang diyakini Morozov sebagai kesesatan.[45] Menurut newsru.com, sentimen-sentimen yang diungkapkan oleh Emelyanov dan Morozov tidaklah sensasional tetapi memang ada di antara beberapa umat GOR.[45][h] Chapnin menekankan bahwa "terdapat kelompok-kelompok fundamentalis, dalam kecenderungan Ortodoks yang radikal, yang mengutuk setiap [upaya] pemulihan hubungan" antara GOR dan Gereja Katolik.[45] Chapnin berpendapat bahwa retorika fundamentalis adalah "sangat emosional dan sedikit substansi."[45]

Sinode Kudus Gereja Ortodoks Moldova mengeluarkan suatu himbauan yang ditujukan kepada mereka yang mengabaikan Patriark Kirill dalam doa-doa publik mereka.[51]

Pastor Alexander Volkov, juru bicara Patriark Kirill, mengatakan kalau reaksi-reaksi ini bersumber dari kenyataan bahwa "orang-orang belum sepenuhnya memahami apa yang terjadi".[45][i] Wakil ketua Departemen Hubungan Eksternal Gereja dari Patriarkat Moskwa (DECR), Arkhimandrit Philaret Bulekov menyampaikan bahwa sebagian besar umat GOR secara positif menerima pertemuan ini dan hasilnya. Arkhimandrit Bulekov mengatakan bahwa GOR tidak mengesampingkan kritik-kritik seputar pertemuan Paus Fransiskus–Patriark Kirill oleh beberapa orang Ortodoks dan menanggapi sebagian besar pertanyaan tentang apa yang terjadi. Ia berkomentar bahwa dalam kebanyakan kasus orang yang sama membuat pernyataan-pernyataan kritis dan "seandainya bukan untuk pertemuan ini, tidak ada alasan-alasan lain untuk pernyataan-pernyataan semacam itu."[45]

Metropolit Hilarion Alfeyev mengatakan pada Kantor Berita Rusia TASS pada tanggal 25 Februari 2016 bahwa para kritikus dialog yang menganggap perpecahan Kristen adalah normal memegang suatu posisi yang keliru terhadap perintah Yesus dalam Yohanes 17:20-23 yang meminta supaya mereka semua menjadi satu. Alfeyev menegaskan bahwa perintah ini telah dilanggar, kondisi ini adalah salah dan berdosa. Menurut Alfayev, tujuan dari dialog ini tercermin dalam pernyataan bersama yang dihasilkan dan tidak dimaksudkan untuk mengatasi pemisahan dan perbedaan yang ada.[4]

Metropolit Viktorin Kostenkov mengemukakan bahwa deklarasi ini tidak memuat konsesi ataupun kesepakan doktrinal apa pun dari Ortodoksi ke Katolisisme.[54] Ia menegaskan bahwa adanya santo-santa Barat dalam kalender liturgi Ortodoks Timur merupakan bukti dari satu milenium kebersamaan doktrin.[54] Menurut Metropolit Mercurius Ivanov, deklarasi ini menyatakan suatu "pemahaman nilai-nilai bersama Kristiani" beserta dengan "hasrat untuk mengikutinya", dan "tidak berkaitan dengan hal-hal dogmatis".[55] "Akan menjadi suatu kesalahan besar," kata Metropolit Mercurius, "untuk saling berhenti berbicara dan saling melemparkan batu."[55]

Catatan dan bacaan tambahan

Referensi

Pranala luar